Social Icons

Kamis, 15 November 2012

Hubungan Sipil Militer dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Nasional Indonesia


Hubungan Sipil Militer dan Implikasinya Terhadap
Ketahanan Nasional Indonesia
Abstrak
Meski saat ini TNI sudah melakukan reformasi internal secara bertahap, namun beberapa kalangan masih menganggap ada yang kurang, terutama bila ditinjau dengan cara berpikir Barat yang cenderung Huntingtonian. Di masa lalu, dualisme ini dianggap telah membuat TNI -arguably- tidak profesional. Gagasan mengenai militer yang profesional dan lepas dari aktivitas-aktivitas politik telah mengemuka sejak akhir era Orde Baru. Sejak doktrin dwifungsi ABRI didaulatkan oleh rejim Orde Baru, Indonesia selalu dirundung masalah dominasi militer dalam politik. Padahal, prasyarat sebuah negara yang demokratis adalah bebasnya politik dari intervensi-intervensi militer.Karena adanya tuntutan sebuah proses politik yang demokratis dan bebas dari intervensi militer tersebut, posisi militer harus diterjemahkan secara tepat. Militer tidak boleh mendapatkan posisi yang kuat sebagai praetorian guard atau penjaga stabilitas rejim, karena rawan disalahgunakan fungsi-fungsinya oleh tindakan-tindakan personal. Dengan kata lain, militer yang memiliki peran besar dalam politik cenderung selaras dengan kediktatoran dan personalisme politik.
Kata Kunci : Sipil, Militer, Ketahanan Nasional
A.    Sejarah Republik Indonesia dan Hubungan Sipil-Militer
Sejak pemerintahan Soeharto berakhir di tahun 1998, turut berubah pula paradigma hubungan sipil-militer di negeri ini. Negeri kita sebelumnya amat didominasi oleh militer, dan memang hal ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah bangsa Indonesia itu sendiri. Sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, militer memiliki peran yang amat penting dalam revolusi fisik dan tidak mengakui kontrol sipil atas dirinya. Contohnya, Jenderal Soedirman menolak perintah Presiden Soekarno untuk melepaskan Syahrir pada 30 Juni 1946 setelah diumumkan negara dalam keadaan darurat. Meski Soekarno mengumumkan di radio bahwa penahanan Syahrir dapat membahayakan keutuhan nasional, Pak Dirman tetap menolak (Ricklefs,1993: 223). Penolakan perintah yang lain adalah pada saat Soekarno ditangkap Belanda pada saat Belanda menyerbu Yogyakarta, 19 Desember 1948. Setelah Soekarno ditahan sekian lama, Soekarno dan Soedirman tetap tidak mencapai kesepakatan tentang gencatan senjata dengan Belanda. Soekarno menghendaki gencatan senjata. Soedirman menghendaki peperangan gerilya diteruskan sampai tujuannya tercapai. Akibatnya, Soedirman menawarkan untuk berhenti sebagai Panglima karena Soekarno tidak mau menarik ide gencatan senjata. Di mata Nasution, sikap Pak Dirman ini amat mengesankan. Alih-alih menyerah, malah memimpin perang gerilya dengan segala resiko dan kesulitan yang harus dihadapi. Disinilah kelemahan pimpinan sipil pada waktu itu yang telah dipandang membahayakan keutuhan nasional. Makanya, dikatakan bahwa satu-satunya milik Republik ini yang tetap utuh dan tidak akan berubah meski menghadapi segala macam ancaman, tantangan, halangan dan gangguan adalah Tentara Nasional Indonesia (Rinakit, 2005: 40).
Dari titik tonggak sejarah inilah bisa kita runut hubungan sipil dan militer negeri kita yang dimulai sejak negeri kita berdiri. Sistem pemerintahan kita juga mempengaruhi hubungan ini. Pada awal berdirinya negara ini, kita mengadopsi gaya Demokrasi Liberal, mulai dari sistem pemerintahan yang presidensial, kemudian berubah menjadi parlementer dengan masih menggunakan satu konstitusi yang sama (bandingkan dengan Thailand yang hampir setiap terjadi kudeta ganti konstitusi). Gaya parlementer ini bertahan sekitar satu dekade, dan hasilnya banyak yang tidak puas sehingga berakhir dengan kegagalan. Nah, karena gagal berliberal-ria ini, maka dicobalah gaya yang lain. Muncul lah Demokrasi Terpimpin, tetap dibawah Presiden Soekarno pada tahun 1959. Pak Harto melabeli ini sebagai Orde Lama. Demokrasi Terpimpin ini memungkinkan Presiden mempunyai kekuasaan yang besar, ditambah aneka hak prerogatif lainnya. Setelah tumbang, maka lahirlah Demokrasi Pancasila bersamaan dengan naiknya Pak Harto ke tampuk pimpinan negara kita, berlabel Orde Baru. Meski Pak Harto menjadi Presiden setelah membasmi komunisme (yang dianggap sebagai musuh kapitalisme barat), baik Orde Baru maupun Orde Lama sama-sama mencela Demokrasi Liberal. Dikatakan bahwa Demokrasi Liberal itu terlalu individualistis, terlalu bebas, sehingga tidak sesuai dengan kultur Indonesia yang bersifat kegotong-royongan, kekeluargaan dan kekerabatan. Jadi, mulai dari sudut pandang ini, Demokrasi Liberal sudah mendapatkan label negatif. Kata liberal pun dalam Bahasa Indonesia berkonotasi negatif.
Orde Baru telah menetapkan bahwa pondasi negara adalah Pancasila, dan konstitusinya UUD 1945. Pak Harto mendefinisikan Orde Baru adalah sebagai koreksi total terhadap Orde Lama, yang dipandang korup dengan kekuasaannya yang bersifat absolut, bukan oleh lembaga perwakilan rakyat (DPR dan MPR) melainkan digenggam oleh sang Presiden itu sendiri. Tapi meskipun dimaksudkan sebagai koreksi rejim sebelumnya, ternyata dalam kenyataannya, tidak juga berbeda jauh dengan Orde Lama. Contohnya, Presiden melakukan dominasi terhadap lembaga legislatif melalui suatu sistem penunjukan langsung, dimana seluruh kandidat harus melalui serangkaian ujian dengan apa yang disebut sebagai "screening" sebelum dinominasikan. Eksekutif juga sering diprotes karena terlalu absolut, tidak ada kebebasan mengemukakan pendapat dan berkumpul. Pendek kata, masyarakat dibatasi gerak-geriknya. Salah-salah sedikit dicap anti pemerintah. Gaya pemerintahan pada masa itu benar benar "one man-rule", kekuasaan mutlak berada di tangan Presiden. Media yang berani menyiarkan tulisan yang tajam harus siap-siap dibredel. Yang suka usil siap-siap masuk bui. Yang suka bikin onar dan kriminal, selesai dengan petrus (penembak misterius) sebagai shock therapy (Schwarz, 2000: 249).
B.     Kilas Balik Konsep Dwifungsi
Peran militer diwujudkan dalam konsep Dwifungsi yang muncul pada periode awal kemerdekaan ini adalah sebagai akibat dari peran sosial politik oleh militer dan kristalisasi ideologi yang menopang tugas tersebut. Peran sospol militer diperlukan karena banyaknya kekosongan jabatan yang ditinggal pergi Belanda, antara lain pada perusahaan-perusahaan milik Belanda yang dinasionalisasi sebagai akibat Belanda menolak negosiasi soal Irian Barat. Masuknya militer ke dalam bidang non-militer ini juga dilegalisir oleh aturan pada waktu itu. Djiwandono (Civil Military Relation in Indonesia, 1998) berargumen bahwa Dwifungsi ini merupakan evolusi dari ketidaksukaan terhadap Demokrasi Liberal. Ini merupakan bentuk perlawanan terhadap "civilian supremacy over the military". Jadi dari sudut pandang ini maka konsep Dwifungsi memang diformulasikan, dilaksanakan, dan dilembagakan sebagai peran ABRI sejak awal berdirinya Republik ini.
Ide Dwifungsi memang berasal dari A.H Nasution pada saat dia menjabat sebagai Menpangad, dimana dia menyatakan bahwa TNI itu tidak sama seperti tentara di negara Barat, di mana posisinya hanya sebagai alat pemerintahan (di bawah kendali sipil), namun juga tidak seperti tentara di Amerika Latin yang memonopoli kekuasaan, melainkan TNI adalah tentara yang berjuang bahu membahu dengan rakyat. Oleh karena tampaknya ide A.H Nasution ini tidak Barat dan tidak Selatan maka dijuluki konsep "Jalan Tengah" (Aspinall, 2005 : 63).
Kurun waktu itu baik Bung Karno maupun A.H Nasution kecewa dengan Demokrasi Parlementer. Pada saat militer sukses menumpas pemberontakan di beberapa wilayah tanah air, Bung Karno merasa mendapat angin untuk mengimplementasikan Demokrasi Terpimpin, sekaligus mempraktekkan ide "Jalan Tengah" A.H Nasution. Jadi, dari sini memang tampak bahwa akar dari Dwifungsi itu berawal pada masa Demokrasi Terpimpin. Namun di masa Orde Baru, Dwifungsi ini mendapatkan legalitasnya. Peristiwa Pemberontakan G30S/PKI yang ditumpas oleh militer, menjadikan Dwifungsi semakin mendapatkan legitimasinya (Feith, 1980; 73).
Hal  inilah yang dianggap sebagai pangkal dari berbagai permasalahan di kemudian hari. Banyak ahli yang berpandangan bahwa Dwifungsi dapat dibenarkan bagi para pejuang kemerdekaan, atau setidaknya pada awal perjuangan dulu. Namun, klaim sejarah ini menjadi kabur manakala dihadapkan kepada generasi pasca 1945. Memisahkan hal ini memang tidak mudah, peran ganda ini memasuki wilayah abu-abu antara "pertahanan" dan "keamanan" yang juga berhubungan dengan Pemilu dan partai politik, legislasi dan hubungan antara masyarakat dan militer. Apalagi UU No.20/1982 menyatakan ABRI itu sebagai "dinamisator" dan "stabilisator", yang mana bersama-sama dengan unsur masyarakat lainnya mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mewujudkan kemakmukran bagi seluruh rakyat Indonesia. Di masa kini, akan tampak dalam praktek semisal TNI membantu petani tanam padi, karena masih ada petani yang tidak becus tanam padi, sehingga TNI merasa "terpanggil" untuk membantunya.
C.    Babak Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia
Meski tidak dapat disangkal lagi negeri kita sudah memasuki babak baru dalam kehidupan berdemokrasi di mana hubungan sipil-militer sudah menempatkan militer dalam kontrol sipil, namun, kenyataan yang masih sering terjadi adalah bahwa institusi sipil, atau lebih tepat di sini dikatakan sebagai pemimpin sipil masih ingin mencari partner militer manakala sipil dipandang tidak mempunyai expertise dalam military affairs, sehingga dicarilah tokoh militer untuk mendampinginya. Kontrol sipil terhadap militer memang lazimnya terjadi di negara Demokrasi Liberal, meski hal ini juga pernah terjadi di negara-negara yang berkultur komunis (Huntington, 1967). Contoh: Venezuela dalam kurun waktu 1959-1993, Argentina setelah tahun 1990, Ceko dan Polandia setelah berakhirnya Perang Dingin. Yang dimaksud sebagai "military domination" disini menurut Mares (Civil-Military Relation, 1998) tidak harus negara dipimpin oleh militer, tapi bisa juga dipimpin oleh sipil, namun sipil di sini hanya dalam posisi sebagai "puppet", sedangkan menteri kabinetnya banyak yang militer. Contohnya adalah Brazil, Argentina, Guatemala, dan tetangga dekat kita, Thailand. Semuanya adalah contoh realita politik negara yang sering didominasi oleh militer.
Mares disini membedakan bahwa seorang diktator yang militer tidak selalu mewakili dominasi militer dalam perpolitikan. Mares berargumen bahwa dominasi militer ini tidak serta merta bisa dilabelkan apabila suatu negara dipimpin oleh seorang militer, tetapi lebih kepada hubungan antara sipil dan militer, di mana militer yang dimaksud di sini adalah militer secara institusinya. Maksudnya adalah ketika pimpinan politik atau pemerintahan terdiri dari para perwira militer dan pemerintahan mempunyai ketergantungan politis kepada angkatan bersenjata secara institusi, inilah yang dikatakan sebagai "military-dominant". Namun, apabila kepemimpinan dalam pemerintahan terdiri dari para pensiunan atau sudah tidak ada sangkut pautnya lagi dengan militer sebagai intitusi, dan kemampuan kepemimpinannya sudah tidak tergantung kepada militer, maka dapat dikatakan bahwa militer berada dalam posisi di bawah kekuasaan politik, sehingga bukan lagi disebut "military-dominant".  Mares mencontohkan Chili (Jenderal Pinochet) dan Indonesia (Jenderal Soeharto), dua-duanya duduk di puncak pemerintahan yang kekuatan politiknya tidak diperoleh dari hirarki dalam tubuh institusi militer.
Dalam konteks Chili dan Indonesia, hal ini menjadi menarik, baik Pinochet dan Soeharto memang disebut orang kuat. Dua-duanya mantan jenderal, dan pemerintahannya juga didukung oleh militer. Inilah yang disebut sebagai "a pact among equals". Ini memang ditemukan dalam hubungan yang menyatu (organic) dalam hubungan antara negara dan masyarakatnya, dimana secara prinsip antara politisi dan perwira militernya berperan sebagai bagian dari hubungan tersebut (agents). Jadi, "a pact among equals" dalam pengertian ini bermakna bahwa sipil dan militernya berkedudukan setara, tidak ada yang mendominasi satu sama lain. Contoh, sejak tahun 1989, konstitusi Chili ditulis dalam alam diktator militer, dan militernya tetap menginginkan bahwa pemerintahan Chili tetap sipil, ini juga disebut sebagai "a pact among equals". Militernya tidak ingin terang-terangan mendominasi. Tetapi dalam konteks Indonesia, "a pact among equals"-nya itu masuk dalam konsep Dwifungsi ABRI dan tidak dalam konstitusi.
Dalam konteks Indonesia, hubungan sipil-militer memang bisa dikatakan sebagai "a pact among equals". Sipil merasa legowo dan membiarkan militer memimpin, oleh karena dalam konteks Indonesia, militer memang mempertahankan & mendukung politisi sipil, sedangkan politisi sipil pun masih mencoba mempolitisir militer, ketimbang mendorong profesionalisme militer secara mandiri. Mengapa ini dilakukan oleh politisi sipil? Seperti argumen Mares, tentu alasan utamanya adalah untuk memperoleh loyalitas & legitimasi dari pihak militer. Hal ini seringkali tidak disadari oleh militer sendiri, sehingga akibatnya militer abai terhadap bidang profesionalnya dan tenggelam dalam keasyikan di bidang sosial politik dengan alasan bahwa bidang ini juga masih dalam kerangka pengabdian kepada bangsa dan negara.
Ini menjadi semakin rumit manakala soal contoh tanam padi tadi dianggap juga sebagai bagian dari membantu masyarakat yang membutuhkan. Apakah itikad baik ini harus disalahkan? Memang dilematis, manakala bandul profesionalisme militer tidak diarahkan ke arah yang tepat, dan menjadi rancu manakala itu juga dianggap bagian dari profesionalisme militer ala Indonesia. Jadi, apabila kita mengikuti alur pikir seperti ini, maka kita tidak bisa lagi menyalahkan militer yang masuk wilayah sosial, politik dan bahkan ekonomi, dengan alasan toh bidang-bidang non-militer ini bisa untuk memajukan bangsa, membuat rakyat makmur, negara kaya dan bisa beli alutsista yang canggih. Alur pikir semacam ini akan menjadikan militer bisa masuk lagi ke arena yang makin jauh dari tugas pertahanan (core business-nya), karena selalu ada pembenaran bahwa muaranya toh untuk negara ini. Jadi, amat mungkin prajurit yang masih aktif dapat merangkap jadi saudagar, petani, nelayan, bankir, dan segala macam profesi lainnya.
Namun selalu ada saja yang perlu disyukuri, Indonesia meski militernya kuat secara politik pada masa lampau di bawah Orde Baru, namun pada saat Soeharto jatuh, militer tidak mempertahankan kejatuhannya itu dengan kekerasan. Bahkan pada era pemerintahan setelah itu pun (yang dipandang lemah), militernya tetap tidak tergoda untuk melakukan kudeta. Bayangkan apabila ini terjadi di negara tetangga kita maupun Amerika Latin sana, militernya selalu tergoda untuk kudeta dan mengambil alih kekuasaan manakala sipil dipandang tidak becus memegang kendali pemerintahan. Mengapa hal ini tidak terjadi di Indonesia? Thailand malah mempunyai prestasi yang spektakuler soal kudeta, sejak tahun 1932 sudah lusinan kali militernya melakukan kudeta.
Lalu, gambaran hubungan sipil-militer saat ini di negeri kita seperti apa? Jelas, sejak 1998 paradigma hubungan sipil-militer sudah berubah. Namun, tampaknya tidak banyak tulisan yang diproduksi oleh perwira militer dalam isu ini. Oleh karena itulah, sengaja tulisan ini dipublikasikan untuk mendorong semua pihak yang terkait agar dapat kiranya berkontribusi dalam membangun format yang tepat tentang hubungan sipil-militer di negeri kita. Apabila mengacu kepada teori Huntington tentang konsep hubungan sipil-militer yang diistilahkan sebagai "objective civilian control", maka di dalam negara demokrasi yang sudah maju dan mapan (dan ini ditafsirkan sebagai Demokrasi Liberal / Barat), hubungan militer dan sipil digambarkan sebagai berikut: tercapainya tingkat profesionalisme militer yang handal namun juga mengetahui batasan kemampuan profesional yang dimilikinya, tunduknya militer pada pimpinan sipil sebagai pembuat keputusan khususnya dalam kebijakan luar negeri dan militer (pertahanan), mengakui dan menerima kepemimpinan (sipil) dalam bidang kemampuan profesionalnya, namun dalam hal ini militer juga mempunyai otonomi, oleh karenanya, campur tangan militer menjadi minimal dalam politik namun juga militer tidak dicampuri oleh politik (Huntington, 1993 : 17).
Gambaran di atas adalah lazimnya negara Demokrasi Liberal, dan tentu dalam alam otoritarian akan amat berbeda. Dalam alam otoritarian, pada hubungan sipil-militer, tidak ditemukan kontrol sipil terhadap militer sama sekali, dan bahkan pimpinan militer dan institusinya seringkali melakukan tugas yang tidak ada sangkutpautnya dengan lazimnya tugas militer (p.3). Dalam suatu negara yang mempunyai sistem satu partai (lihat RRC), militer digunakan sebagai alat dari partai tersebut, pimpinan militer juga masuk dalam jajaran partai, oleh karenanya organisasi ini menjadi paralel antara partai dan rantai komando militer, dan hal ini berujung pada loyalitas militer pada partai ketimbang kepada negara (rakyat di dalamnya). Huntington juga menyoroti organisasi TNI (terutama TNI-AD) yang mana struktur organisasi dalam level Kodam paralel dengan organisasi Pemerintah Daerah. Dalam masa Orde Baru, militer banyak yang juga masuk Golkar, dan (bahkan) petinggi TNI-AD ikut kampanye untuk Golkar pada Pemilu 1977 (KPU, Laporan Penyelengaraan Pemilu tahun 1999, p.276). Struktur organisasinya tergambar paralel dengan Pemerintah Daerah, seperti hubungan Lurah-Babinsa, Camat-Danramil, Bupati-Dandim, dan Gubernur-Danrem. Tugas dalam level ini dipandang amat jauh dari profesionalisme militer. Militer bertugas tidak lagi mendekati bidang profesionalnya (pertahanan) tetapi cenderung menjauh dari misi profesionalnya.
Oleh karena itulah, mengapa pada era awal reformasi bergulir, tuntutan terhadap reformasi dalam tubuh TNI amat gencar disuarakan oleh banyak pihak khususnya mereka yang belajar & mengerti tentang teori hubungan sipil-militer, terutama dalam kaitannya dengan profesionalisme militer menurut Huntington ini. TNI merespon hal ini dengan melakukan reformasi internal, hasilnya antara lain pemisahan TNI dan Polri, dan implikasinya, Polri mengurusi bidang keamanan sementara TNI fokus pada bidang pertahanan negara. Tetapi hal ini tidak serta merta menghilangkan peran sosial-politik (Habib, Posisi dan Peranan Militer, 2001, p.85). TNI masih memerlukan waktu untuk melanjutkan reformasi internal guna mengembalikan kepercayaan masyarakat setelah sekian lama hidup dalam alam represi (p.77). Nyman (Mikaela Nyman, Democratising Indonesia, 2006) melihat bahwa proses reformasi ini terhambat gara gara munculnya Global War on Terror (GWOT), dan menjadi isu kontroversi setelah munculnya Undang-Undang Anti Terorisme tahun 2003. Pada awalnya UU ini diprotes oleh aktivis HAM dan kalangan pro-demokrasi, namun, belakangan UU ini dipuji oleh Barat, karena dianggap mampu menggulung terrorisme, terutama dalam kaitannya dengan Jemaah Islamiyah pasca Bom Bali, meski pada awalnya dikatakan bergaya Draconian, karena memungkinkan aparat keamanan untuk memeriksa secara langsung tersangka yang terlibat terorisme.
Di dalam kurun waktu ini juga, Undang-Undang Darurat Perang memberikan lampu hijau bagi operasi militer di Aceh pada Mei 2003. Darurat militer pada masa Megawati ini juga menjadi kontroversi yang ramai, karena pada masa itu pengerahan kekuatan militer dalam keadaan darurat bisa tanpa menunggu ijin dari Presiden dan Legislatif. Suatu hal yang tentu amat sulit dilakukan dalam konteks Demokrasi Liberal, di mana militer dalam kontrol sipil penuh. Tulisan Huntington memang memberi penekanan pada kendali sipil atas militer. Banyak analis yang menginginkan TNI melakukan reformasi internal, tanpa lagi mengingat romantisme masa lalu di mana TNI memang amat berjasa dalam menjaga tetap tegaknya NKRI. Namun, banyak yang percaya bahwa TNI akan lebih positif dan mendukung pemimpin sipil manakala dipandang punya kemampuan dalam mengendalikan situasi, terutama dalam menjaga integritas NKRI .
D.    Reformasi di Tubuh TNI
               Sejatinya, dalam sistem monarki tradisional, militer hanyalah "penjaga malam" yang dalam sistem pemerintahan modern disebut sebagai fungsi pertahanan keamanan (hankam). Fungsi inilah yang dibedakan secara tajam dengan fungsi sipil yang mencakup seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara kecuali hankam. Dalam negara-negara maju seperti di Amerika Utara dan Eropa Barat, pemetaan kedua fungsi (militer dan sipil) ini sudah bisa berjalan seimbang. Masing-masing bisa berperan sesuai dengan fungsinya, tidak tumpang-tindih dan intervensi. Kalaupun ada pengaruh, maka sipil mempengaruhi militer, bukan sebaliknya. Karena yang berjalan adalah "supremasi sipil" maka kebijakan-kebijakan politik yang ditempuh dan dijalankan pemerintahan sipil berpengaruh pada langkah-langkah yang harus ditempuh militer. Yang terjadi di Indonesia adalah kebalikan dari itu: sipil berada di bawah supremasi militer. Sepanjang rezim Orde Baru, kondisi semacam itu berjalan mulus walaupun bukan berarti tanpa kritik. Kritik-kritik yang dilontarkan ada, tetapi selalu muncul di bawah permukaan. Karena kalau muncul di permukaan akan segera dituduh subversif: melawan pemerintahan yang sah. Informasi-informasi yang berkaitan dengan kritik-kritik terhadap peran militer pun diberangus tanpa ampun.

               Titik balik Jatuhnya Soeharto telah melahirkan satu perubahan besar dalam system perpolitikan Indonesia secara umum. Secara khusus, dalam perspektif hubungan sipil-militer, telah terjadi titik balik yang ditandai dengan kritik-kritik tajam atau bahkan hujatan terhadap militer sepanjang Soeharto berkuasa. Tuntutan terhadap reformasi peran militer pun muncul dari berbagai komponen masyarakat, termasuk dari kalangan militer sendiri. Penghapusan dwi fungsi ABRI juga menjadi salah satu pilar reformasi yang diajukan komponen gerakan reformasi, terutama kalangan mahasiswa. Hujatan masyarakat-terutama mahasiswa-terhadap ABRI/militer, di samping karena peran-perannya selama rezim Orde Baru berkuasa, juga disebabkan karena beberapa kejadian tragis yang melibatkan ABRI/militer seperti dalam Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I, dan Tragedi Semanggi II, yang menelan beberapa korban dari kalangan mahasiswa.

               Proses reformasi peran TNI bukan semata karena tumbangnya Soeharto, tetapi merupakan keniscayaan sejarah. Setidaknya ada empat alasan yang melatarbelakanginya. Pertama, peran sosial politik TNI yang melampaui batas telah mengakibatkan tersumbatnya wadah aspirasi masyarakat. Kedua, campur tangan pihak TNI yang terlalu jauh di berbagai sector kehidupan telah mengakibatkan semakin rumit dan berlarut-larutnya beberapa konflik yang terjadi di tengah masyarakat. Ketiga, intervensi TNI yang terlalu jauh di bidang hukum telah mengakibatkan semakin lunturnya penghargaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum dan peradilan. Akibat keterlibatan "oknum" TNI/ABRI, banyak kasus hukum yang masih misterius hingga sekarang, seperti pada kasus tewasnya Marsinah dan wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin. Keempat, keterlibatan TNI dalam bidang ekonomi dianggap sebagai penyebab bangkrutnya sektor ini. Buku Bila ABRI Berbisnis yang disusun berdasarkan hasil penelitian LIPI memaparkan secara gamblang bahwa banyak unit-unit bisnis yang melibatkan militer atau "oknum" militer yang biasanya dibungkus dengan kata "kerja sama" dengan sipil yang berujung pada kebangkrutan di pihak sipil.

               Dalam studinya yang dilakukan di delapan negara ketiga, Herberth Feith (1980) menyimpulkan bahwa naiknya kekuasaan militer memang merupakan gejala umum di dunia ketiga sebagaimana maraknya otoritarianisme. Feith mengidentifikasi munculnya rezim militer di suatu negara senantiasa bersamaan dengan menjauhnya demokrasi dari negara yang bersangkutan. Memang, tidak semua kasus otoritarianisme disebabkan karena militerisme. Pada faktanya banyak juga negara otoriter yang dipimpin oleh rezim sipil. Namun, seperti kata Nordlinger, jika sebuah pemerintahan dikuasai oleh militer maka hampir pasti akan melahirkan otoritarianisme. Mengapa rezim militer lebih pro pada otoritarianisme? Dalam kasus Indonesia, hal ini bisa dijawab karena secara formal, ideologi sebagai konsepsi kenegaraan yang dipedomani militer Indonesia untuk mengarahkan posisi dan perannya dalam kedudukan kenegaraan ialah doktrin Tri Ubaya Cakti dan Catur Darma Eka Paksi. Di samping itu, karena militer juga berperan dalam menentukan pola kenegaraan serta cara mengisi kemerdekaan, maka konsep kenegaraan integralistik yang dipedomani dan dipertahankan militer juga bias disebut sebagai bagian dari ideologi militer.

               Di dalam doktrin pertahanan negara dan perjuangan militer, dikenal dua konsep utama yang secara langsung akan melibatkan militer dalam proses demokratisasi, yakni konsepsi tentang perang dan konsepsi tentang musuh. Doktrin militer di Indonesia mengajarkan konsep "perang rakyat semesta" dimana atas perintah pimpinan militer, seluruh rakyat harus ikut berperang. Implikasi dari pelaksanaan doktrin ini adalah: Pertama, militer bisa menentukan arah kebijakan politik yang bukan saja harus dipatuhi oleh kalangan prajurit militer, tetapi juga oleh seluruh komponen masyarakat sipil. Kedua, karena mencakup semua komponen bangsa maka otomatis menutup peluang bagi pemimpin sipil untuk mengambil kebijakan-kebijakan politik yang memberikan kebebasan pada rakyat untuk menyalurkan aspirasi sesuai dengan bisikan hati nuraninya karena yang ada dan berhak disalurkan hanyalah aspirasi pimpinan militer. Hal ini sangat erat kaitannya dengan konsepsi militer mengenai "musuh".
               Dalam doktrin militer Indonesia terdapat rumusan "ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan" (AGHT) yang merupakan strategi yang lahir dari rumusan fungsi hankam ABRI yang menyatakan bahwa tugas militer adalah "memelihara dan memperkuat ketahanan, kewaspadaan, dan kesiapsiagaan nasional untuk secara defensif aktif mempertahankan dan mengamankan kedaulatan serta integritas negara, wilayah, dan bangsa Indonesia." Lewat konsep AGHT-nya militer bisa dengan mudah merumuskan siapa "kawan" dan "lawan". Dengan begitu akan dengan mudah membungkam setiap aspirasi yang bernada kritis baik terhadap pemerintah maupun pimpinan militer. Apalagi dalam konteks Indonesia, antara kepala pemerintahan dan panglima tertinggi militer berada dalam satu lembaga kepresidenan. Jadi, sempurnalah otoritas dan kewenangan menentukan "lawan" dan "musuh" itu dalam satu tangan: presiden.
               Di samping itu, konsepsi tentang negara integralistik yang menyatukan rakyat dengan negara berdampak pada subordinasi seluruh kepentingan dan aspirasi rakyat pada negara yang sudah diidentifikasi dengan kekuasaan militer. Dalam konsep ini sulit dibedakan mana militer yang merupakan bagian dari Negara dengan militer yang dikuasai negara. Kosepsi kenegaraan seperti itu akan membenarkan militer untuk berperan atas nama negara dan rakyat sekaligus. Di sinilah letak akutnya hubungan antara peran militer dengan otoritarianisme negara dan dengan demikian berarti demokrasi yang sejati otomatis akan menjauh dari peran sosial politik militer.
               Dalam perspektif ini, demokratisasi bisa dibangun dengan tiga cara. Pertama, penghapusan Dwifungsi TNI dalam bentuk: (1) penarikan unsur militer dari jajaran birokrasi; (2) penghapusan fungsi centeng dalam sektor ekonomi; (3) reformasi doktrin militer seperti Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Kedua, mereformasi doktrin TNI. Loyalitas TNI sejatinya bukanlah kepada pemerintah, tetapi kepada negara dan bangsa secara keseluruhan. Dan, ketiga, perlu adanya pembaruan kurikulum pendidikan militer agar sesuai dengan paradigma sistem pertahanan sekarang yang tidak lagi berorientasi pada pertahanan secara fisik. Sejak berakhirnya perang dingin, paradigm pertahanan negara beralih dari "mempertahankan diri dari kekuatan lawan" menjadi "mempertahankan diri agar tidak terjerumus pada tindakan melanggar hak asasi manusia (HAM)."

E.     Militer Dan Demokrasi
Indonesia sedang berada dalam masa transisi menuju pada sebuah nuansa demokrasi seutuhnya. Hal ini dikarenakan demokrasi Indonesia masih sangat muda dan baru saja melewati masa otoritarianisme sehingga menuntut penataan ulang hubungan sipil-militer melalui legislasi. Wacana mengenai hubungan sipil-militer ini cenderung mempertentangkan institusi militer dengan demokrasi. Tak jarang muncul pemahaman yang menyatakan bahwa militer adalah antidemokrasi. Penilaian ini berdasarkan struktur TNI yang memang dibangun atas disiplin atasan–bawahan, mekanisme geraknya menggunakan rantai komando yang ketat, strateginya menggunakan pendekatan keamanan (security approach), dan fungsinya identik dengan monopoli penggunaan kekerasan (monopoly of violence)
Kembali pada tujuan utama untuk menata ulang hubungan sipil-militer, sebelumnya diperlukan penjelasan apa yang dimaksudkan dengan sipil dan militer dalam pengertian hubungan sipil-militer. Perkataan sipil merupakan satu pengertian yang menyangkut dengan masyarakat, atau warga negara pada umumnya. Sedangkan militer merupakan pengertian yang bersangkutan dengan kekuatan bersenjata. Secara kongkrit perkataan sipil di Indonesia adalah seluruh masyarakat, sedangkan perkataan militer berarti Tentara Nasional Indonesia (TNI), yaitu organisasi yang merupakan kekuatan bersenjata dan yang harus menjaga kedaulatan negara Republik Indonesia. Karena sipil berarti masyarakat, maka sebenarnya militer pun bagian dari masyarakat.
Hubungan sipil dan militer merupakan satu hal yang sangat penting bagi satu bangsa. Ini dikarenakan memiliki pengaruh besar terhadap ketahanan nasional bangsa tersebut. Ketahanan nasional sendiri adalah perihal tahan (kuat), keteguhan hati, ketabahan dalam rangka kesadaran. Atau lebih jelasnya lagi dapat disimpulkan bahwa ketahanan nasional memiliki pengertian perihal tahan (kuat), keteguhan hati, ketabahan dari kesatuan dalam memperjuangkan kepentingan nasional suatu bangsa yang telah menegara.
Karakteristik kepemimpinan pada umumnya harus mempunyai kewibawaan dan kelebihan untuk mempengaruhi serta mengajak orang lain untuk berjuang bersama, bekerja, dan berusaha mencapai satu tujuan bersama. Setiap pemimpin Indonesia harus memiliki dan mencerminkan kepemimpinan Pancasila. Di bawah ini merupakan beberapa sifat kepemimpinan yang dimiliki orang-orang dari kalangan militer, yaitu:
  1. Otoriter lewat komando dan asas efisiensi.
  2. Memiliki stamina fisik dan mental yang tinggi/kuat berkat latihan-latihan rutin setiap hari dengan daya reaksi cepat, hati-hati, cermat dan teliti.
  3. Memiliki loyalitas dan integritas yang tinggi.
  4. Selalu bersikap terbuka terhadap perubahan, kemajuan, ide-ide baru, inovasi dan modernisasi.
Jika memperhatikan lebih teliti sifat-sifat kepemimpinan yang dimiliki oleh orang-orang dari kalangan militer, memang ada baiknya jika jabatan kepemimpinan negara Indonesia dipegang oleh militer. Warga sipil masih belum dapat membedakan antara militer dan militerisme. Undang-Undang Dasar 1945 sendiri tidak melarang militer untuk menjabat sebagai presiden. Wujud sikap militer adalah disiplin yang tinggi, taat kepada atasan (terutama bangsa dan negara), loyalitas, komitmen, dan dedikasi. Namun, jika dia atau seorang sipil sekalipun menerapkan perilaku ala komando, otoriter, dan represif, itulah sikap “militeristik” yang harus dibuang dan dihindarkan. Dari penjelasan militer dan militerisme di atas menunjukkan perbedaan yang jauh bahwa yang terpenting bukanlah pemimpin dari kalangan militer melainkan wujud sikap militer yang harus dimiliki para calon presiden kita.
Keterlibatan militer dalam ranah politik akan sangat mengganggu ketahanan nasional bangsa kita. Mengapa demikian? Militer yang harusnya bertugas sebagai pertahanan pertama sebuah negara dari segala ancaman yang datangnya dari luar. Namun dikesampingkan karena terlalu sibuk dengan urusannya di dunia politik. Asas legalitas akan menunjang berlakunya kepastian hukum dan kesamaan perlakuan terjadi karena setiap orang yang berada dalam situasi seperti ditentukan dalam ketentuan UU itu berhak dan berkewajiban untuk berbuat seperti apa yang ditentukan dalam UU tersebut.
Di satu sisi, ini merupakan bentuk demokrasi militer yang merupakan bagian dari masyarakat sipil juga. Membuktikan kedinamisan militer sebagai sebuah lembaga yang menjunjung tinggi proses yang berusaha dilakukan sama halnya dengan masyarakat sipil yang senantiasa melakukan perubahan. Di sisi lain, ini dapat menghambat terbentuknya tatanan demokratis di kalangan masyarakat sipil. Jika militer dilarang untuk dapat mengakses dunia polotik, maka yang hadir adalah akan menodai proses demokrasi yang sedang dilakukan.
Keadaan lembaga pertahanan negara kita ini sangat memprihatinkan. Hal ini terlihat sebagai bukti dari keterlibatan militer dalam dunia politik. Militer kurang mendapat perhatian dari pemerintah dalam pengadaan fasilitas dan inilah salah satu penyebab mengapa militer harus terjun ke ranah-ranah yang lain. Jika saja pemerintah mengadakan fasilitas yang lengkap untuk militer maka militer bisa fokus dengan tugas utamanya dan tidak akan mengganggu jalannya demokrasi.
Selain itu, pemerintah juga perlu mengadakan wajib militer bagi masyarakat sipil. Wajib militer juga bisa dipandang dalam dua ranah yang mendasar, yakni hak dan kewajiban warga negara. Wajib militer sebagai hak dapat dimaknai sebagai upaya negara dalam memberikan dasar-dasar pertahanan sipil dalam keadaan darurat. Sebagai kewajiban, wajib militer bisa diletakkan sebagai wujud partisipasi masyarakat sipil untuk bela negara dan ikhtiar menciptakan TNI yang profesional. Wajib militer bisa menjadi alat yang efektif untuk memangkas bisnis TNI dan mendorong TNI lebih profesional. Sebab, untuk membangun tentara profesional, TNI tidaklah boleh berbisnis. TNI tidak boleh mencari uang dari luar anggaran negara.
Mudah-mudahan dengan kedua solusi di atas dapat menciptakan hubungan baik antara sipil-militer. Kehidupan demokrasi negara kita pun bisa berjalan dengan baik. Dengan begitu ketahanan nasional negara kita bisa terwujudkan. Untuk itulah lembaga ketahanan nasional diperlukan keprofesionalan mereka dalam mengembangkan konsep geostrategi Indonesia yang lebih maju dengan rumusan sebagai berikut, geostrategi Indonesia harus berupa sebuah konsep strategis untuk mengembangkan keuletan daya tahan, pengembangan kekuatan nasional untuk menghadapi dan menangkal ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan baik bersifat internal maupun eksternal.
Dalam sistem politik Indonesia militer merupakan sebuah kekuatan yang perlu dipertimbangkan, mengingat posisinya sebagai sebuah lembaga yang memiliki potensi yang sangat besar untuk mempertahankan sebuah kekuasaan, bahkan untuk meruntuhkan sebuah dominasi kekuasaan. Dalam pendekatan neo-institusionalism, militer sebagai sebuah lembaga yang memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan peta kekuatan politik sebuah negara. Pendekatan ini menganggap bahwa, sebuah lembaga bukan hanya sebagai sebuah wadah dimana tempat individu melakukan kegiatan yang mempengaruhi sebuah masyarakat, tapi lebih dari itu, yaitu sebagai sebuah variabel bagian dari sebuah sistem yang memiliki peran yang dominan pula. Jadi pendekatan ini menganggap bukan hanya aktor yang melakukan peran politik, tapi lembaga politik pun sedang menjalankan peran politik tersebut.
Dalam perkembangannya militer di Indonesia mengalami banyak perubahan, mulai dari peningkatan sumber daya materil, hingga pada reformasi dalam tubuh militer. Ini merupakan akibat dari bergulirnya arus demokrasi yang dikawal oleh tuntutan sipil yang menganggap bahwa militer telah sepantasnya melakukan perubahan guna meningkatkan profesionalismenya, yaitu sebagai pertahanan pertama sebuah negara dari segala ancaman yang datangnya dari luar. Hal ini9 membuktikan adanya kedinamisan militer sebagai sebuah lembaga yang menjunjung tinggi proses yang berusaha dilakukan sama halnya dengan masyarakat sipil yang senantiasa melakukan perubahan. Jika memahaminya lebih lanjut sebenarnya arah pembicaraan yang menarik adalah bagaimana militer membangun hubungannya dengan masyarakat sipil, ditengah-tengah krisis kepercayaan masyarakat sipil pasca pemerintahan orde baru yang sangat otoriter. Seperti yang telah diketahui bersama bahwa pada masa orde baru, pemerintahan Indonesi didominasi oleh militer dan model pengelolaan pemerintahan yang berbasis pada pola organisasi militer. Hal ini dapat dilihat dari adanya pola penyeragaman yang dilakukan serta menjadikan stabilitas nasional diatas segala-galanya untuk menuju masyarakat yang dicita-citakan.
Dengan melihat fenomena serta dampak yang ditimbulkan dari kekuatan militer, maka hadir sebagian anggapan yang menganggap keterlibatan militer balam dunia politik adalah merupakan kesalahan besar. Pada masa orde baru, dominasi militer ini sangat terlihat, dimana peran penting militir bukan hanya pada praktek politik saja tapi pada pembuatan kebijakan publik. Menurut saya ini akan berdampk pada degradasi fungsi militer sebagai lapisan pertama negara dari ancaman dari luar, karena secara langsung akan menjadikan militer kurang profesional dalam menjalankan fungsi pertahanan dan keamanan sebuah negara. Namun tidak sedikit pula yang menganggap bahwa militer perlu masuk keranah politik, karena tidak dapat dipungkiri bahwa merupakan sesuatu yang harfiah jika manusia berhasrat untuk berkuasa atas yang lain. Dan jika militer terlarang untuk dapat mengakses dunia polotik, maka yang hadir adalah akan menciderai proses demokrasi yang sedang dilakukan. Namun yang menjadi masalah disini adalah bagaiman agar milier sebagi sebuah variabel bagian dari sebuah sistem tetap dapat menjaga peran dan fungsinya dalam sebuah negara, agar tercipta sebuah keseimbangan serta keharmonisan hubungan dengan masyarakat sipil.
Sebenarnya wacana hubungan sipil militer bukanlah sesuatu yang baru mengingat bahwa umur militer di Indonesia yang telah lama, artinya telah ada pengkajian awal yang telah hadir pada masa-masa lampau. Dan keputusan militer harus kembali kebarak dan menghilangkannya dari dunia politik seharusnya diimbangi dengan perhatian pemeritah terhadap militer untuk menjaga agar kebutuhan mereka tetap terjaga. Militer merupakan lembaga pertama yang menikmati perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama segala hal yang berkaitan dengan persenjataan. Dari asumsi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa militer di Indonesia kurang mendapat perhatian dari pemerintah dan inilah salah satu penyebab mengapa militer harus terjun keranag-ranah yang lain. Penyebab yang lain adalah kurangnya fasilitas militer di Indonesia, sehingga militer harus mencari priofesi yang lain untuk terus beraktifitas. Jika militer tidak memiliki kebutuhannya sebagai militer, sudah barang tentu akan cenderung mencari kesibukan yang lain. Dan penyebab yang lainya yaitu pendanaan terhadap militer yang kurang yang oleh karena krisis ekonomi yang terjadi menjadikan bangsa ini mengalami kesulitan dalam hal pendanaan perlengkapan militer. Jika berusaha bijak maka masalah militer di Indonesia bukanlah masalah militer seorang, tapi merupakan masalah bersama termasuk masyarakat sipil seharusnya bertanggung jawab untuk mencari solusi terbaik dalam menanganinya. Sebagai kesimpulan, saya mengajak kepada seluruh pembaca untuk menanggapi masalah yang hadir secara arif agar dapat menjadi fungsi kontrol atas kewenangan yang telah dititipkan kepada militer, menginggat besarnya potensi militer untuk melakukan sesuatu yang dapat mengganggu jalannya demokrasi.
F.     Kesimpulan
Bangsa kita, khususnya para politisi atau negarawan hendaknya memiliki kearifan dalam melihat dan mensikapi sejarah masa lalu bangsanya, khususnya sejarah (perjuangan) TNI.  Hal ini sangat penting agar dalam menentukan kebijakan politik dapat didasarkan pada fakta yang ada di lapangan yang kemampuannya dimiliki oleh para komandan militer, sehingga dapat sinergi antara keputusan politik dengan kondisi yang dimiliki oleh militer dan tidak menimbulkan uninstended result.
            Pada ephoria demokrasi seperti sekarang ini ada sebagian politisi (negarawan) yang berusaha untuk menarik-narik TNI masuk ke dalam percaturan politik. Wacana yang berkembang adalah agar anggota TNI diberi hak memilih. Mereka, para elit politik (mungkin) hanya melihat sesaat untung dan ruginya dalam peta politik sehingga mereka lupa tentang arti dan makna esprit de corp dan garis komando yang kuat serta memiliki alat kekuatan (senjata) sehingga akan membawa dampak negatif dan membahayakan apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dikarenakan terjadinya perbedaan politik antar prajurit atau satuan sehingga hal ini akan merusak jati diri TNI, soliditas dan sendi-sendi netralitas TNI.
Pada saat ini belum saatnya tetapi untuk beberapa dekade yang akan datang (mungkin) para  prajurit  dapat  diberi  hak suara karena (mungkin) sudah adanya kemapanan mental dan kedewasaan dalam berpolitik. Kemungkinan-kemungkinan tersebut hendaklah benar-benar dikaji secara teliti dan kemudian diputuskan secara arif, bukan karena ambisi untuk memperbanyak perolehan suara semata. Untuk itu diperlukan kearifan dalam membuat perundang-undangan yang baik, yang mengatur peran dan fungsi TNI tanpa ada tendensi apapun, selain demi terciptanya postur dan profesionalismenya. Oleh karena itu dalam penentuan kebijakan dan strategi nasional yang mempertaruhkan kelangsungan hidup bangsa dan negara seyogyanya militer-sipil (politisi/negarawan dengan pucuk pimpinan militer) dapat duduk bersama dan setara agar tercipta sinergi dan soliditas demi terbentuknya angkatan bersenjata yang kuat, tangguh dan profesional serta demi keutuhan dan kejayaan  NKRI.
Para politisi atau negarawan (sipil) hendaknya dapat memahami dengan arif dan sungguh-sungguh peran dan fungsinya masing-masing, terlebih dalam melihat institusi militer karena dasar suatu negara adalah organisasi militer (yang baik). Hal itu sebagaimana diungkapkan oleh Niccolo Machiavelli (1469-1527 M) bahwa, “Tidak mungkin ada perundang-undangan yang baik apabila tidak ada angkatan bersenjata yang baik. Dimana terdapat angkatan bersenjata yang baik sangat diperlukan perundang-undangan yang baik. Dasar suatu negara adalah organisasi militer yang baik dan seorang negarawan harus belajar ilmu kemiliteran”.
DAFTAR PUSTAKA
Feith, Herbert. 1980. “Rezim-rezim Developmentalis Represif di Asia: Kekuatan Lama, Kerawanan Baru”, Prisma,11 (November).
Huntington, Samuel P. The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (Norman: University of Oklahoma Press, 1993).
__________________. The Soldier and The State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations (Cambridge: Cambridge University Press, 1957).
__________________. “Mereformasi Hubungan Sipil-Militer” dalam Larry Diamond dan Marc F. Plattner. Hubungan Sipil-Militer dan Demokrasi penterjemah Tri Wibowo Budi Santoso (Jakarta: RajaGrafindo, 2000).
Linz, Juan J. dan Alfred Stepan. Problem of Democratic Transition and Consolidation: Southern Europe, South America, and Post-Communist Europe (Baltimore: John Hopkins University, 1996).
Muhaimin, Jahja A. Perkembangan Militer dalam Politik Indonesia 1945-1966 (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982, cetakan kedua).
Pratiknya, Ahmad Watik, Umar Juoro dan Indria Samego. Pandangan dan Langkah Reformasi BJ. Habibie (Jakarta: Rajawali Press, 1999).
Rial, Juan. “Tentara dan Masyarakat Sipil di Amerika Latin” dalam Larry Diamond dan Marc F. Plattner. Hubungan Sipil-Militer dan Demokrasi penterjemah Tri Wibowo Budi Santoso (Jakarta: RajaGrafindo, 2000).
Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern penterjemah Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991).
Suharko. “NGO, Masyarakat Sipil, dan Demokrasi: Kritik atas Pandangan Liberal” dalam Eric Hiariej, Ucu Martanto, dan Ahmad Musyaddad. Politik Transisi Pasca-Soeharto (Yogyakarta: Fisipol UGM, 2004).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bumi

AKU DAN MASAKU

Ahmad Munawir Saleh

Menu

Gallery Slider(Do Not Edit Here!)

Search

Copyright Text

 

Sample text

Sample Text

Sample Text