Hubungan Sipil Militer dan Implikasinya Terhadap
Ketahanan Nasional Indonesia
Abstrak
Meski saat ini TNI sudah
melakukan reformasi internal secara bertahap, namun beberapa kalangan masih
menganggap ada yang kurang, terutama bila ditinjau dengan cara berpikir Barat
yang cenderung Huntingtonian. Di masa lalu, dualisme ini dianggap telah membuat
TNI -arguably- tidak profesional. Gagasan mengenai militer yang
profesional dan lepas dari aktivitas-aktivitas politik telah mengemuka sejak
akhir era Orde Baru. Sejak doktrin dwifungsi ABRI didaulatkan oleh rejim Orde
Baru, Indonesia selalu dirundung masalah dominasi militer dalam politik.
Padahal, prasyarat sebuah negara yang demokratis adalah bebasnya politik dari
intervensi-intervensi militer.Karena adanya tuntutan sebuah proses politik yang
demokratis dan bebas dari intervensi militer tersebut, posisi militer harus
diterjemahkan secara tepat. Militer tidak boleh mendapatkan posisi yang kuat sebagai praetorian
guard atau penjaga stabilitas rejim, karena rawan disalahgunakan
fungsi-fungsinya oleh tindakan-tindakan personal. Dengan kata lain, militer
yang memiliki peran besar dalam politik cenderung selaras dengan kediktatoran
dan personalisme politik.
Kata Kunci :
Sipil, Militer, Ketahanan Nasional
A.
Sejarah Republik
Indonesia dan Hubungan Sipil-Militer
Sejak
pemerintahan Soeharto berakhir di tahun 1998, turut berubah pula paradigma
hubungan sipil-militer di negeri ini. Negeri kita sebelumnya amat didominasi
oleh militer, dan memang hal ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah bangsa
Indonesia itu sendiri. Sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, militer
memiliki peran yang amat penting dalam revolusi fisik dan tidak mengakui
kontrol sipil atas dirinya. Contohnya, Jenderal Soedirman menolak perintah
Presiden Soekarno untuk melepaskan Syahrir pada 30 Juni 1946 setelah diumumkan
negara dalam keadaan darurat. Meski Soekarno mengumumkan di radio bahwa
penahanan Syahrir dapat membahayakan keutuhan nasional, Pak Dirman tetap menolak
(Ricklefs,1993: 223). Penolakan perintah yang lain adalah pada saat Soekarno
ditangkap Belanda pada saat Belanda menyerbu Yogyakarta, 19 Desember 1948.
Setelah Soekarno ditahan sekian lama, Soekarno dan Soedirman tetap tidak
mencapai kesepakatan tentang gencatan senjata dengan Belanda. Soekarno
menghendaki gencatan senjata. Soedirman menghendaki peperangan gerilya
diteruskan sampai tujuannya tercapai. Akibatnya, Soedirman menawarkan untuk
berhenti sebagai Panglima karena Soekarno tidak mau menarik ide gencatan
senjata. Di mata Nasution, sikap Pak Dirman ini amat mengesankan. Alih-alih
menyerah, malah memimpin perang gerilya dengan segala resiko dan kesulitan yang
harus dihadapi. Disinilah kelemahan pimpinan sipil pada waktu itu yang telah
dipandang membahayakan keutuhan nasional. Makanya, dikatakan bahwa satu-satunya
milik Republik ini yang tetap utuh dan tidak akan berubah meski menghadapi
segala macam ancaman, tantangan, halangan dan gangguan adalah Tentara Nasional
Indonesia (Rinakit, 2005: 40).
Dari titik
tonggak sejarah inilah bisa kita runut hubungan sipil dan militer negeri kita
yang dimulai sejak negeri kita berdiri. Sistem pemerintahan kita juga
mempengaruhi hubungan ini. Pada awal berdirinya negara ini, kita mengadopsi
gaya Demokrasi Liberal, mulai dari sistem pemerintahan yang presidensial,
kemudian berubah menjadi parlementer dengan masih menggunakan satu konstitusi
yang sama (bandingkan dengan Thailand yang hampir setiap terjadi kudeta ganti
konstitusi). Gaya parlementer ini bertahan sekitar satu dekade, dan hasilnya
banyak yang tidak puas sehingga berakhir dengan kegagalan. Nah, karena gagal
berliberal-ria ini, maka dicobalah gaya yang lain. Muncul lah Demokrasi
Terpimpin, tetap dibawah Presiden Soekarno pada tahun 1959. Pak Harto melabeli
ini sebagai Orde Lama. Demokrasi Terpimpin ini memungkinkan Presiden mempunyai
kekuasaan yang besar, ditambah aneka hak prerogatif lainnya. Setelah tumbang,
maka lahirlah Demokrasi Pancasila bersamaan dengan naiknya Pak Harto ke tampuk
pimpinan negara kita, berlabel Orde Baru. Meski Pak Harto menjadi Presiden
setelah membasmi komunisme (yang dianggap sebagai musuh kapitalisme barat),
baik Orde Baru maupun Orde Lama sama-sama mencela Demokrasi Liberal. Dikatakan
bahwa Demokrasi Liberal itu terlalu individualistis, terlalu bebas, sehingga
tidak sesuai dengan kultur Indonesia yang bersifat kegotong-royongan,
kekeluargaan dan kekerabatan. Jadi, mulai dari sudut pandang ini, Demokrasi
Liberal sudah mendapatkan label negatif. Kata liberal pun dalam Bahasa
Indonesia berkonotasi negatif.
Orde Baru
telah menetapkan bahwa pondasi negara adalah Pancasila, dan konstitusinya UUD
1945. Pak Harto mendefinisikan Orde Baru adalah sebagai koreksi total terhadap
Orde Lama, yang dipandang korup dengan kekuasaannya yang bersifat absolut,
bukan oleh lembaga perwakilan rakyat (DPR dan MPR) melainkan digenggam oleh
sang Presiden itu sendiri. Tapi meskipun dimaksudkan sebagai koreksi rejim
sebelumnya, ternyata dalam kenyataannya, tidak juga berbeda jauh dengan Orde
Lama. Contohnya, Presiden melakukan dominasi terhadap lembaga legislatif
melalui suatu sistem penunjukan langsung, dimana seluruh kandidat harus melalui
serangkaian ujian dengan apa yang disebut sebagai "screening"
sebelum dinominasikan. Eksekutif juga sering diprotes karena terlalu absolut,
tidak ada kebebasan mengemukakan pendapat dan berkumpul. Pendek kata,
masyarakat dibatasi gerak-geriknya. Salah-salah sedikit dicap anti pemerintah.
Gaya pemerintahan pada masa itu benar benar "one man-rule",
kekuasaan mutlak berada di tangan Presiden. Media yang berani menyiarkan
tulisan yang tajam harus siap-siap dibredel. Yang suka usil siap-siap masuk
bui. Yang suka bikin onar dan kriminal, selesai dengan petrus (penembak
misterius) sebagai shock therapy (Schwarz, 2000: 249).
B.
Kilas Balik Konsep
Dwifungsi
Peran militer
diwujudkan dalam konsep Dwifungsi yang muncul pada periode awal kemerdekaan ini
adalah sebagai akibat dari peran sosial politik oleh militer dan kristalisasi
ideologi yang menopang tugas tersebut. Peran sospol militer diperlukan karena
banyaknya kekosongan jabatan yang ditinggal pergi Belanda, antara lain pada
perusahaan-perusahaan milik Belanda yang dinasionalisasi sebagai akibat Belanda
menolak negosiasi soal Irian Barat. Masuknya militer ke dalam bidang
non-militer ini juga dilegalisir oleh aturan pada waktu itu. Djiwandono (Civil
Military Relation in Indonesia, 1998) berargumen bahwa Dwifungsi ini
merupakan evolusi dari ketidaksukaan terhadap Demokrasi Liberal. Ini merupakan
bentuk perlawanan terhadap "civilian supremacy over the military".
Jadi dari sudut pandang ini maka konsep Dwifungsi memang diformulasikan,
dilaksanakan, dan dilembagakan sebagai peran ABRI sejak awal berdirinya
Republik ini.
Ide Dwifungsi
memang berasal dari A.H Nasution pada saat dia menjabat sebagai Menpangad, dimana dia menyatakan bahwa TNI itu tidak sama seperti
tentara di negara Barat, di mana posisinya hanya sebagai alat pemerintahan (di
bawah kendali sipil), namun juga tidak seperti tentara di Amerika Latin yang
memonopoli kekuasaan, melainkan TNI adalah tentara yang berjuang bahu membahu
dengan rakyat. Oleh karena tampaknya ide A.H Nasution ini tidak Barat dan tidak Selatan maka
dijuluki konsep "Jalan Tengah" (Aspinall, 2005 : 63).
Kurun waktu
itu baik Bung Karno maupun A.H Nasution kecewa dengan Demokrasi Parlementer. Pada saat militer
sukses menumpas pemberontakan di beberapa wilayah tanah air, Bung Karno merasa
mendapat angin untuk mengimplementasikan Demokrasi Terpimpin, sekaligus mempraktekkan
ide "Jalan Tengah" A.H Nasution. Jadi, dari sini memang tampak bahwa akar dari Dwifungsi
itu berawal pada masa Demokrasi Terpimpin. Namun di masa Orde Baru, Dwifungsi
ini mendapatkan legalitasnya. Peristiwa Pemberontakan G30S/PKI yang ditumpas
oleh militer, menjadikan Dwifungsi semakin mendapatkan legitimasinya (Feith, 1980; 73).
Hal inilah
yang dianggap sebagai pangkal dari berbagai permasalahan di kemudian hari.
Banyak ahli yang berpandangan bahwa Dwifungsi dapat dibenarkan bagi para
pejuang kemerdekaan, atau setidaknya pada awal perjuangan dulu. Namun, klaim
sejarah ini menjadi kabur manakala dihadapkan kepada generasi pasca 1945.
Memisahkan hal ini memang tidak mudah, peran ganda ini memasuki wilayah abu-abu
antara "pertahanan" dan "keamanan" yang juga berhubungan
dengan Pemilu dan partai politik, legislasi dan hubungan antara masyarakat dan
militer. Apalagi UU No.20/1982 menyatakan ABRI itu sebagai
"dinamisator" dan "stabilisator", yang mana bersama-sama
dengan unsur masyarakat lainnya mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mewujudkan
kemakmukran bagi seluruh rakyat Indonesia. Di masa kini, akan tampak dalam
praktek semisal TNI membantu petani tanam padi, karena masih ada petani yang
tidak becus tanam padi, sehingga TNI merasa "terpanggil" untuk
membantunya.
C.
Babak Baru Hubungan
Sipil-Militer di Indonesia
Meski tidak
dapat disangkal lagi negeri kita sudah memasuki babak baru dalam kehidupan
berdemokrasi di mana hubungan sipil-militer sudah menempatkan militer dalam
kontrol sipil, namun, kenyataan yang masih sering terjadi adalah bahwa
institusi sipil, atau lebih tepat di sini dikatakan sebagai pemimpin sipil
masih ingin mencari partner militer manakala sipil dipandang tidak mempunyai expertise
dalam military affairs, sehingga dicarilah tokoh militer untuk
mendampinginya. Kontrol sipil terhadap militer memang lazimnya terjadi di
negara Demokrasi Liberal, meski hal ini juga pernah terjadi di negara-negara
yang berkultur komunis (Huntington, 1967). Contoh: Venezuela dalam kurun waktu
1959-1993, Argentina setelah tahun 1990, Ceko dan Polandia setelah berakhirnya
Perang Dingin. Yang dimaksud sebagai "military domination"
disini menurut Mares (Civil-Military Relation, 1998) tidak harus negara
dipimpin oleh militer, tapi bisa juga dipimpin oleh sipil, namun sipil di sini
hanya dalam posisi sebagai "puppet", sedangkan menteri
kabinetnya banyak yang militer. Contohnya adalah Brazil, Argentina, Guatemala,
dan tetangga dekat kita, Thailand. Semuanya adalah contoh realita politik
negara yang sering didominasi oleh militer.
Mares disini
membedakan bahwa seorang diktator yang militer tidak selalu mewakili dominasi
militer dalam perpolitikan. Mares berargumen bahwa dominasi militer ini tidak
serta merta bisa dilabelkan apabila suatu negara dipimpin oleh seorang militer,
tetapi lebih kepada hubungan antara sipil dan militer, di mana militer yang
dimaksud di sini adalah militer secara institusinya. Maksudnya adalah ketika
pimpinan politik atau pemerintahan terdiri dari para perwira militer dan
pemerintahan mempunyai ketergantungan politis kepada angkatan bersenjata secara
institusi, inilah yang dikatakan sebagai "military-dominant".
Namun, apabila kepemimpinan dalam pemerintahan terdiri dari para pensiunan atau
sudah tidak ada sangkut pautnya lagi dengan militer sebagai intitusi, dan
kemampuan kepemimpinannya sudah tidak tergantung kepada militer, maka dapat
dikatakan bahwa militer berada dalam posisi di bawah kekuasaan politik,
sehingga bukan lagi disebut "military-dominant". Mares mencontohkan Chili (Jenderal Pinochet) dan Indonesia (Jenderal
Soeharto), dua-duanya duduk di puncak pemerintahan yang kekuatan politiknya
tidak diperoleh dari hirarki dalam tubuh institusi militer.
Dalam konteks
Chili dan Indonesia, hal ini menjadi menarik, baik Pinochet dan Soeharto memang
disebut orang kuat. Dua-duanya mantan jenderal, dan pemerintahannya juga
didukung oleh militer. Inilah yang disebut sebagai "a pact among equals".
Ini memang ditemukan dalam hubungan yang menyatu (organic) dalam
hubungan antara negara dan masyarakatnya, dimana secara prinsip antara politisi
dan perwira militernya berperan sebagai bagian dari hubungan tersebut (agents).
Jadi, "a pact among equals" dalam pengertian ini bermakna
bahwa sipil dan militernya berkedudukan setara, tidak ada yang mendominasi satu
sama lain. Contoh, sejak tahun 1989, konstitusi Chili ditulis dalam alam
diktator militer, dan militernya tetap menginginkan bahwa pemerintahan Chili
tetap sipil, ini juga disebut sebagai "a pact among equals".
Militernya tidak ingin terang-terangan mendominasi. Tetapi dalam konteks
Indonesia, "a pact among equals"-nya itu masuk dalam konsep
Dwifungsi ABRI dan tidak dalam konstitusi.
Dalam konteks
Indonesia, hubungan sipil-militer memang bisa dikatakan sebagai "a pact
among equals". Sipil merasa legowo dan membiarkan militer memimpin,
oleh karena dalam konteks Indonesia, militer memang mempertahankan &
mendukung politisi sipil, sedangkan politisi sipil pun masih mencoba
mempolitisir militer, ketimbang mendorong profesionalisme militer secara
mandiri. Mengapa ini dilakukan oleh politisi sipil? Seperti argumen Mares,
tentu alasan utamanya adalah untuk memperoleh loyalitas & legitimasi dari
pihak militer. Hal ini seringkali tidak disadari oleh militer sendiri, sehingga
akibatnya militer abai terhadap bidang profesionalnya dan tenggelam dalam
keasyikan di bidang sosial politik dengan alasan bahwa bidang ini juga masih
dalam kerangka pengabdian kepada bangsa dan negara.
Ini menjadi
semakin rumit manakala soal contoh tanam padi tadi dianggap juga sebagai bagian
dari membantu masyarakat yang membutuhkan. Apakah itikad baik ini harus
disalahkan? Memang dilematis, manakala bandul profesionalisme militer tidak
diarahkan ke arah yang tepat, dan menjadi rancu manakala itu juga dianggap
bagian dari profesionalisme militer ala Indonesia. Jadi, apabila kita mengikuti
alur pikir seperti ini, maka kita tidak bisa lagi menyalahkan militer yang
masuk wilayah sosial, politik dan bahkan ekonomi, dengan alasan toh
bidang-bidang non-militer ini bisa untuk memajukan bangsa, membuat rakyat
makmur, negara kaya dan bisa beli alutsista yang canggih. Alur pikir semacam
ini akan menjadikan militer bisa masuk lagi ke arena yang makin jauh dari tugas
pertahanan (core business-nya), karena selalu ada pembenaran bahwa
muaranya toh untuk negara ini. Jadi, amat mungkin prajurit yang masih aktif
dapat merangkap jadi saudagar, petani, nelayan, bankir, dan segala macam
profesi lainnya.
Namun selalu
ada saja yang perlu disyukuri, Indonesia meski militernya kuat secara politik
pada masa lampau di bawah Orde Baru, namun pada saat Soeharto jatuh, militer
tidak mempertahankan kejatuhannya itu dengan kekerasan. Bahkan pada era
pemerintahan setelah itu pun (yang dipandang lemah), militernya tetap tidak
tergoda untuk melakukan kudeta. Bayangkan apabila ini terjadi di negara
tetangga kita maupun Amerika Latin sana, militernya selalu tergoda untuk kudeta
dan mengambil alih kekuasaan manakala sipil dipandang tidak becus memegang
kendali pemerintahan. Mengapa hal ini tidak terjadi di Indonesia? Thailand
malah mempunyai prestasi yang spektakuler soal kudeta, sejak tahun 1932 sudah
lusinan kali militernya melakukan kudeta.
Lalu,
gambaran hubungan sipil-militer saat ini di negeri kita seperti apa? Jelas,
sejak 1998 paradigma hubungan sipil-militer sudah berubah. Namun, tampaknya
tidak banyak tulisan yang diproduksi oleh perwira militer dalam isu ini. Oleh
karena itulah, sengaja tulisan ini dipublikasikan untuk mendorong semua pihak
yang terkait agar dapat kiranya berkontribusi dalam membangun format yang tepat
tentang hubungan sipil-militer di negeri kita. Apabila mengacu kepada teori
Huntington tentang konsep hubungan sipil-militer yang diistilahkan sebagai
"objective civilian control", maka di dalam negara demokrasi
yang sudah maju dan mapan (dan ini ditafsirkan sebagai Demokrasi Liberal /
Barat), hubungan militer dan sipil digambarkan sebagai berikut: tercapainya
tingkat profesionalisme militer yang handal namun juga mengetahui batasan
kemampuan profesional yang dimilikinya, tunduknya militer pada pimpinan sipil
sebagai pembuat keputusan khususnya dalam kebijakan luar negeri dan militer
(pertahanan), mengakui dan menerima kepemimpinan (sipil) dalam bidang kemampuan
profesionalnya, namun dalam hal ini militer juga mempunyai otonomi, oleh
karenanya, campur tangan militer menjadi minimal dalam politik namun juga
militer tidak dicampuri oleh politik (Huntington, 1993 : 17).
Gambaran di
atas adalah lazimnya negara Demokrasi Liberal, dan tentu dalam alam otoritarian
akan amat berbeda. Dalam alam otoritarian, pada hubungan sipil-militer, tidak
ditemukan kontrol sipil terhadap militer sama sekali, dan bahkan pimpinan
militer dan institusinya seringkali melakukan tugas yang tidak ada
sangkutpautnya dengan lazimnya tugas militer (p.3). Dalam suatu negara yang
mempunyai sistem satu partai (lihat RRC), militer digunakan sebagai alat dari
partai tersebut, pimpinan militer juga masuk dalam jajaran partai, oleh
karenanya organisasi ini menjadi paralel antara partai dan rantai komando
militer, dan hal ini berujung pada loyalitas militer pada partai ketimbang
kepada negara (rakyat di dalamnya). Huntington juga menyoroti organisasi TNI
(terutama TNI-AD) yang mana struktur organisasi dalam level Kodam paralel
dengan organisasi Pemerintah Daerah. Dalam masa Orde Baru, militer banyak yang
juga masuk Golkar, dan (bahkan) petinggi TNI-AD ikut kampanye untuk Golkar pada
Pemilu 1977 (KPU, Laporan Penyelengaraan Pemilu tahun 1999, p.276). Struktur
organisasinya tergambar paralel dengan Pemerintah Daerah, seperti hubungan
Lurah-Babinsa, Camat-Danramil, Bupati-Dandim, dan Gubernur-Danrem. Tugas dalam level
ini dipandang amat jauh dari profesionalisme militer. Militer bertugas tidak
lagi mendekati bidang profesionalnya (pertahanan) tetapi cenderung menjauh dari
misi profesionalnya.
Oleh karena
itulah, mengapa pada era awal reformasi bergulir, tuntutan terhadap reformasi
dalam tubuh TNI amat gencar disuarakan oleh banyak pihak khususnya mereka yang
belajar & mengerti tentang teori hubungan sipil-militer, terutama dalam
kaitannya dengan profesionalisme militer menurut Huntington ini. TNI merespon
hal ini dengan melakukan reformasi internal, hasilnya antara lain pemisahan TNI
dan Polri, dan implikasinya, Polri mengurusi bidang keamanan sementara TNI
fokus pada bidang pertahanan negara. Tetapi hal ini tidak serta merta
menghilangkan peran sosial-politik (Habib, Posisi dan Peranan Militer, 2001,
p.85). TNI masih memerlukan waktu untuk melanjutkan reformasi internal guna
mengembalikan kepercayaan masyarakat setelah sekian lama hidup dalam alam
represi (p.77). Nyman (Mikaela Nyman, Democratising Indonesia, 2006) melihat
bahwa proses reformasi ini terhambat gara gara munculnya Global War on
Terror (GWOT), dan menjadi isu kontroversi setelah munculnya Undang-Undang
Anti Terorisme tahun 2003. Pada awalnya UU ini diprotes oleh aktivis HAM dan
kalangan pro-demokrasi, namun, belakangan UU ini dipuji oleh Barat, karena
dianggap mampu menggulung terrorisme, terutama dalam kaitannya dengan Jemaah
Islamiyah pasca Bom Bali, meski pada awalnya dikatakan bergaya Draconian,
karena memungkinkan aparat keamanan untuk memeriksa secara langsung tersangka
yang terlibat terorisme.
Di dalam
kurun waktu ini juga, Undang-Undang Darurat Perang memberikan lampu hijau bagi
operasi militer di Aceh pada Mei 2003. Darurat militer pada masa Megawati ini
juga menjadi kontroversi yang ramai, karena pada masa itu pengerahan kekuatan
militer dalam keadaan darurat bisa tanpa menunggu ijin dari Presiden dan
Legislatif. Suatu hal yang tentu amat sulit dilakukan dalam konteks Demokrasi
Liberal, di mana militer dalam kontrol sipil penuh. Tulisan Huntington memang
memberi penekanan pada kendali sipil atas militer. Banyak analis yang
menginginkan TNI melakukan reformasi internal, tanpa lagi mengingat romantisme
masa lalu di mana TNI memang amat berjasa dalam menjaga tetap tegaknya NKRI.
Namun, banyak yang percaya bahwa TNI akan lebih positif dan mendukung pemimpin
sipil manakala dipandang punya kemampuan dalam mengendalikan situasi, terutama
dalam menjaga integritas NKRI .
D. Reformasi
di Tubuh TNI
Sejatinya, dalam sistem monarki
tradisional, militer hanyalah "penjaga malam" yang dalam sistem pemerintahan modern disebut
sebagai fungsi pertahanan keamanan (hankam). Fungsi
inilah yang dibedakan secara tajam dengan
fungsi sipil yang mencakup seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara kecuali hankam. Dalam negara-negara maju seperti di Amerika Utara dan Eropa
Barat, pemetaan kedua fungsi (militer dan sipil) ini
sudah bisa berjalan seimbang. Masing-masing
bisa berperan sesuai dengan fungsinya, tidak tumpang-tindih dan intervensi. Kalaupun ada pengaruh, maka sipil
mempengaruhi militer, bukan
sebaliknya. Karena yang berjalan adalah "supremasi sipil" maka kebijakan-kebijakan politik yang
ditempuh dan dijalankan pemerintahan sipil berpengaruh pada langkah-langkah yang harus ditempuh
militer. Yang terjadi di Indonesia adalah
kebalikan dari itu: sipil berada di bawah supremasi militer. Sepanjang rezim Orde Baru, kondisi
semacam itu berjalan mulus walaupun bukan berarti tanpa
kritik. Kritik-kritik yang dilontarkan ada,
tetapi selalu muncul di bawah permukaan. Karena kalau muncul di permukaan akan segera dituduh
subversif: melawan pemerintahan yang sah.
Informasi-informasi yang berkaitan dengan kritik-kritik terhadap peran militer pun diberangus tanpa
ampun.
Titik balik Jatuhnya Soeharto telah melahirkan satu perubahan besar
dalam system perpolitikan Indonesia secara umum.
Secara khusus, dalam perspektif hubungan sipil-militer, telah terjadi titik balik yang ditandai
dengan kritik-kritik tajam atau bahkan hujatan terhadap
militer sepanjang Soeharto berkuasa. Tuntutan
terhadap reformasi peran militer pun muncul dari berbagai komponen masyarakat, termasuk dari kalangan
militer sendiri. Penghapusan dwi fungsi ABRI juga menjadi salah satu pilar reformasi yang diajukan
komponen gerakan reformasi, terutama kalangan
mahasiswa. Hujatan masyarakat-terutama
mahasiswa-terhadap ABRI/militer, di samping karena peran-perannya selama rezim Orde Baru berkuasa, juga
disebabkan karena beberapa kejadian tragis yang
melibatkan ABRI/militer seperti dalam Tragedi
Trisakti, Tragedi Semanggi I, dan Tragedi Semanggi II, yang menelan beberapa korban dari kalangan
mahasiswa.
Proses reformasi peran TNI bukan
semata karena tumbangnya Soeharto, tetapi merupakan keniscayaan sejarah. Setidaknya ada empat alasan
yang melatarbelakanginya. Pertama, peran sosial politik TNI
yang melampaui batas telah mengakibatkan tersumbatnya wadah aspirasi masyarakat. Kedua, campur tangan pihak TNI yang
terlalu jauh di berbagai sector kehidupan
telah mengakibatkan semakin rumit dan berlarut-larutnya beberapa konflik yang terjadi di tengah
masyarakat. Ketiga, intervensi TNI yang terlalu
jauh di bidang hukum telah mengakibatkan semakin lunturnya penghargaan masyarakat terhadap
lembaga-lembaga hukum dan peradilan.
Akibat keterlibatan "oknum" TNI/ABRI, banyak kasus hukum yang masih misterius hingga sekarang,
seperti pada kasus tewasnya Marsinah dan wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin. Keempat, keterlibatan TNI dalam
bidang ekonomi dianggap sebagai penyebab bangkrutnya sektor ini. Buku Bila ABRI Berbisnis yang disusun
berdasarkan hasil penelitian LIPI memaparkan
secara gamblang bahwa banyak unit-unit
bisnis yang melibatkan militer atau "oknum" militer yang biasanya dibungkus dengan kata "kerja
sama" dengan sipil yang berujung
pada kebangkrutan di pihak sipil.
Dalam studinya yang dilakukan di
delapan negara ketiga, Herberth Feith (1980)
menyimpulkan bahwa naiknya kekuasaan militer memang merupakan gejala umum di dunia ketiga sebagaimana
maraknya otoritarianisme. Feith mengidentifikasi munculnya rezim
militer di suatu negara senantiasa bersamaan
dengan menjauhnya demokrasi dari negara yang bersangkutan. Memang, tidak semua kasus
otoritarianisme disebabkan karena militerisme. Pada faktanya banyak juga negara otoriter yang dipimpin oleh
rezim sipil. Namun, seperti kata Nordlinger, jika
sebuah pemerintahan dikuasai oleh militer
maka hampir pasti akan melahirkan otoritarianisme. Mengapa rezim militer lebih pro pada otoritarianisme? Dalam
kasus Indonesia, hal ini bisa dijawab karena secara
formal, ideologi sebagai konsepsi kenegaraan
yang dipedomani militer Indonesia untuk mengarahkan posisi dan perannya dalam kedudukan kenegaraan
ialah doktrin Tri Ubaya Cakti dan Catur Darma Eka Paksi. Di samping itu, karena militer juga
berperan dalam menentukan pola kenegaraan serta cara
mengisi kemerdekaan, maka konsep kenegaraan
integralistik yang dipedomani dan dipertahankan militer juga bias disebut sebagai bagian dari ideologi
militer.
Di dalam doktrin pertahanan negara
dan perjuangan militer, dikenal dua konsep
utama yang secara langsung akan melibatkan militer dalam proses demokratisasi, yakni konsepsi
tentang perang dan konsepsi tentang musuh. Doktrin militer di Indonesia mengajarkan konsep "perang
rakyat semesta" dimana atas perintah pimpinan
militer, seluruh rakyat harus ikut berperang. Implikasi dari pelaksanaan doktrin ini adalah: Pertama, militer bisa menentukan
arah kebijakan politik yang bukan saja harus
dipatuhi oleh kalangan prajurit militer, tetapi juga oleh seluruh komponen masyarakat sipil. Kedua, karena mencakup semua
komponen bangsa maka otomatis menutup peluang bagi pemimpin sipil untuk mengambil kebijakan-kebijakan
politik yang memberikan kebebasan pada rakyat
untuk menyalurkan aspirasi sesuai dengan bisikan hati nuraninya karena yang ada dan berhak disalurkan
hanyalah aspirasi pimpinan militer. Hal ini
sangat erat kaitannya dengan konsepsi militer
mengenai "musuh".
Dalam doktrin militer Indonesia
terdapat rumusan "ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan" (AGHT) yang merupakan strategi
yang lahir dari rumusan fungsi hankam ABRI yang
menyatakan bahwa tugas militer adalah "memelihara
dan memperkuat ketahanan, kewaspadaan, dan kesiapsiagaan nasional untuk secara defensif aktif
mempertahankan dan mengamankan kedaulatan
serta integritas negara, wilayah, dan bangsa Indonesia." Lewat konsep AGHT-nya militer bisa
dengan mudah merumuskan siapa "kawan" dan "lawan". Dengan begitu akan dengan mudah
membungkam setiap aspirasi yang bernada
kritis baik terhadap pemerintah maupun pimpinan militer. Apalagi dalam konteks Indonesia, antara
kepala pemerintahan dan panglima tertinggi militer berada dalam satu lembaga kepresidenan. Jadi,
sempurnalah otoritas dan kewenangan menentukan
"lawan" dan "musuh" itu dalam satu tangan: presiden.
Di samping itu, konsepsi tentang
negara integralistik yang menyatukan rakyat dengan negara berdampak pada subordinasi seluruh kepentingan
dan aspirasi rakyat pada negara yang sudah
diidentifikasi dengan kekuasaan militer. Dalam konsep ini sulit dibedakan mana militer yang merupakan
bagian dari Negara dengan militer yang dikuasai negara. Kosepsi kenegaraan seperti itu akan
membenarkan militer untuk berperan atas nama negara dan rakyat sekaligus. Di sinilah letak akutnya
hubungan antara peran militer dengan otoritarianisme
negara dan dengan demikian berarti demokrasi
yang sejati otomatis akan menjauh dari peran sosial politik militer.
Dalam perspektif ini, demokratisasi
bisa dibangun dengan tiga cara. Pertama,
penghapusan Dwifungsi TNI dalam bentuk: (1) penarikan unsur militer dari jajaran birokrasi; (2)
penghapusan fungsi centeng dalam sektor ekonomi; (3) reformasi doktrin militer seperti Sapta Marga dan Sumpah
Prajurit. Kedua, mereformasi doktrin TNI.
Loyalitas TNI sejatinya bukanlah kepada pemerintah, tetapi kepada negara dan bangsa secara keseluruhan. Dan, ketiga, perlu adanya pembaruan
kurikulum pendidikan militer agar sesuai dengan paradigma sistem pertahanan sekarang yang tidak lagi
berorientasi pada pertahanan secara fisik. Sejak
berakhirnya perang dingin, paradigm pertahanan
negara beralih dari "mempertahankan diri dari kekuatan lawan" menjadi "mempertahankan diri
agar tidak terjerumus pada tindakan melanggar hak asasi manusia (HAM)."
E.
Militer Dan Demokrasi
Indonesia sedang berada dalam masa transisi menuju pada
sebuah nuansa demokrasi seutuhnya. Hal ini dikarenakan demokrasi Indonesia
masih sangat muda dan baru saja melewati masa otoritarianisme sehingga menuntut
penataan ulang hubungan sipil-militer melalui legislasi. Wacana mengenai
hubungan sipil-militer ini cenderung mempertentangkan institusi militer dengan
demokrasi. Tak jarang muncul pemahaman yang menyatakan bahwa militer adalah
antidemokrasi. Penilaian ini berdasarkan struktur TNI yang memang dibangun atas
disiplin atasan–bawahan, mekanisme geraknya menggunakan rantai komando yang
ketat, strateginya menggunakan pendekatan keamanan (security approach),
dan fungsinya identik dengan monopoli penggunaan kekerasan (monopoly of
violence)
Kembali pada tujuan utama untuk menata ulang hubungan
sipil-militer, sebelumnya diperlukan penjelasan apa yang dimaksudkan dengan
sipil dan militer dalam pengertian hubungan sipil-militer. Perkataan sipil
merupakan satu pengertian yang menyangkut dengan masyarakat, atau warga negara
pada umumnya. Sedangkan militer merupakan pengertian yang bersangkutan dengan
kekuatan bersenjata. Secara kongkrit perkataan sipil di Indonesia adalah
seluruh masyarakat, sedangkan perkataan militer berarti Tentara Nasional
Indonesia (TNI), yaitu organisasi yang merupakan kekuatan bersenjata dan yang
harus menjaga kedaulatan negara Republik Indonesia. Karena sipil berarti
masyarakat, maka sebenarnya militer pun bagian dari masyarakat.
Hubungan sipil dan militer merupakan satu hal yang sangat
penting bagi satu bangsa. Ini dikarenakan memiliki pengaruh besar terhadap
ketahanan nasional bangsa tersebut. Ketahanan nasional sendiri adalah perihal
tahan (kuat), keteguhan hati, ketabahan dalam rangka kesadaran. Atau lebih
jelasnya lagi dapat disimpulkan bahwa ketahanan nasional memiliki pengertian
perihal tahan (kuat), keteguhan hati, ketabahan dari kesatuan dalam
memperjuangkan kepentingan nasional suatu bangsa yang telah menegara.
Karakteristik kepemimpinan pada umumnya harus mempunyai
kewibawaan dan kelebihan untuk mempengaruhi serta mengajak orang lain untuk
berjuang bersama, bekerja, dan berusaha mencapai satu tujuan bersama. Setiap
pemimpin Indonesia harus memiliki dan mencerminkan kepemimpinan Pancasila. Di
bawah ini merupakan beberapa sifat kepemimpinan yang dimiliki orang-orang dari
kalangan militer, yaitu:
- Otoriter lewat komando dan asas
efisiensi.
- Memiliki stamina fisik dan
mental yang tinggi/kuat berkat latihan-latihan rutin setiap hari dengan
daya reaksi cepat, hati-hati, cermat dan teliti.
- Memiliki loyalitas dan
integritas yang tinggi.
- Selalu bersikap terbuka
terhadap perubahan, kemajuan, ide-ide baru, inovasi dan modernisasi.
Jika memperhatikan lebih teliti sifat-sifat kepemimpinan
yang dimiliki oleh orang-orang dari kalangan militer, memang ada baiknya jika
jabatan kepemimpinan negara Indonesia dipegang oleh militer. Warga sipil masih
belum dapat membedakan antara militer dan militerisme. Undang-Undang Dasar 1945
sendiri tidak melarang militer untuk menjabat sebagai presiden. Wujud sikap militer
adalah disiplin yang tinggi, taat kepada atasan (terutama bangsa dan negara),
loyalitas, komitmen, dan dedikasi. Namun, jika dia atau seorang sipil sekalipun
menerapkan perilaku ala komando, otoriter, dan represif, itulah sikap
“militeristik” yang harus dibuang dan dihindarkan. Dari penjelasan militer dan
militerisme di atas menunjukkan perbedaan yang jauh bahwa yang terpenting
bukanlah pemimpin dari kalangan militer melainkan wujud sikap militer yang
harus dimiliki para calon presiden kita.
Keterlibatan militer dalam ranah politik akan sangat
mengganggu ketahanan nasional bangsa kita. Mengapa demikian? Militer yang
harusnya bertugas sebagai pertahanan pertama sebuah negara dari segala ancaman
yang datangnya dari luar. Namun dikesampingkan karena terlalu sibuk dengan
urusannya di dunia politik. Asas legalitas akan menunjang berlakunya kepastian
hukum dan kesamaan perlakuan terjadi karena setiap orang yang berada dalam
situasi seperti ditentukan dalam ketentuan UU itu berhak dan berkewajiban untuk
berbuat seperti apa yang ditentukan dalam UU tersebut.
Di satu sisi, ini merupakan bentuk demokrasi militer yang
merupakan bagian dari masyarakat sipil juga. Membuktikan kedinamisan militer
sebagai sebuah lembaga yang menjunjung tinggi proses yang berusaha dilakukan
sama halnya dengan masyarakat sipil yang senantiasa melakukan perubahan. Di
sisi lain, ini dapat menghambat terbentuknya tatanan demokratis di kalangan
masyarakat sipil. Jika militer dilarang untuk dapat mengakses dunia polotik,
maka yang hadir adalah akan menodai proses demokrasi yang sedang dilakukan.
Keadaan lembaga pertahanan negara kita ini sangat
memprihatinkan. Hal ini terlihat sebagai bukti dari keterlibatan militer dalam
dunia politik. Militer kurang mendapat perhatian dari pemerintah dalam pengadaan
fasilitas dan inilah salah satu penyebab mengapa militer harus terjun ke
ranah-ranah yang lain. Jika saja pemerintah mengadakan fasilitas yang lengkap
untuk militer maka militer bisa fokus dengan tugas utamanya dan tidak akan
mengganggu jalannya demokrasi.
Selain itu, pemerintah juga perlu mengadakan wajib militer
bagi masyarakat sipil. Wajib militer juga bisa dipandang dalam dua ranah yang
mendasar, yakni hak dan kewajiban warga negara. Wajib militer sebagai hak dapat
dimaknai sebagai upaya negara dalam memberikan dasar-dasar pertahanan sipil
dalam keadaan darurat. Sebagai kewajiban, wajib militer bisa diletakkan sebagai
wujud partisipasi masyarakat sipil untuk bela negara dan ikhtiar menciptakan
TNI yang profesional. Wajib militer bisa menjadi alat yang efektif untuk
memangkas bisnis TNI dan mendorong TNI lebih profesional. Sebab, untuk
membangun tentara profesional, TNI tidaklah boleh berbisnis. TNI tidak boleh
mencari uang dari luar anggaran negara.
Mudah-mudahan dengan kedua solusi di atas dapat menciptakan
hubungan baik antara sipil-militer. Kehidupan demokrasi negara kita pun bisa
berjalan dengan baik. Dengan begitu ketahanan nasional negara kita bisa
terwujudkan. Untuk itulah lembaga ketahanan nasional diperlukan keprofesionalan
mereka dalam mengembangkan konsep geostrategi Indonesia yang lebih maju dengan
rumusan sebagai berikut, geostrategi Indonesia harus berupa sebuah konsep
strategis untuk mengembangkan keuletan daya tahan, pengembangan kekuatan
nasional untuk menghadapi dan menangkal ancaman, tantangan, hambatan, dan
gangguan baik bersifat internal maupun eksternal.
Dalam sistem politik Indonesia
militer merupakan sebuah kekuatan yang perlu dipertimbangkan, mengingat
posisinya sebagai sebuah lembaga yang memiliki potensi yang sangat besar untuk
mempertahankan sebuah kekuasaan, bahkan untuk meruntuhkan sebuah dominasi
kekuasaan. Dalam pendekatan neo-institusionalism, militer sebagai sebuah
lembaga yang memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan peta
kekuatan politik sebuah negara. Pendekatan ini menganggap bahwa, sebuah lembaga
bukan hanya sebagai sebuah wadah dimana tempat individu melakukan kegiatan yang
mempengaruhi sebuah masyarakat, tapi lebih dari itu, yaitu sebagai sebuah
variabel bagian dari sebuah sistem yang memiliki peran yang dominan pula. Jadi
pendekatan ini menganggap bukan hanya aktor yang melakukan peran politik, tapi
lembaga politik pun sedang menjalankan peran politik tersebut.
Dalam perkembangannya militer di
Indonesia mengalami banyak perubahan, mulai dari peningkatan sumber daya
materil, hingga pada reformasi dalam tubuh militer. Ini merupakan akibat dari
bergulirnya arus demokrasi yang dikawal oleh tuntutan sipil yang menganggap
bahwa militer telah sepantasnya melakukan perubahan guna meningkatkan
profesionalismenya, yaitu sebagai pertahanan pertama sebuah negara dari segala
ancaman yang datangnya dari luar. Hal ini9 membuktikan adanya kedinamisan
militer sebagai sebuah lembaga yang menjunjung tinggi proses yang berusaha
dilakukan sama halnya dengan masyarakat sipil yang senantiasa melakukan
perubahan. Jika memahaminya lebih lanjut sebenarnya arah pembicaraan yang
menarik adalah bagaimana militer membangun hubungannya dengan masyarakat sipil,
ditengah-tengah krisis kepercayaan masyarakat sipil pasca pemerintahan orde
baru yang sangat otoriter. Seperti yang telah diketahui bersama bahwa pada masa
orde baru, pemerintahan Indonesi didominasi oleh militer dan model pengelolaan
pemerintahan yang berbasis pada pola organisasi militer. Hal ini dapat dilihat
dari adanya pola penyeragaman yang dilakukan serta menjadikan stabilitas
nasional diatas segala-galanya untuk menuju masyarakat yang dicita-citakan.
Dengan melihat fenomena serta dampak
yang ditimbulkan dari kekuatan militer, maka hadir sebagian anggapan yang
menganggap keterlibatan militer balam dunia politik adalah merupakan kesalahan
besar. Pada masa orde baru, dominasi militer ini sangat terlihat, dimana peran
penting militir bukan hanya pada praktek politik saja tapi pada pembuatan
kebijakan publik. Menurut saya ini akan berdampk pada degradasi fungsi militer
sebagai lapisan pertama negara dari ancaman dari luar, karena secara langsung
akan menjadikan militer kurang profesional dalam menjalankan fungsi pertahanan
dan keamanan sebuah negara. Namun tidak sedikit pula yang menganggap bahwa
militer perlu masuk keranah politik, karena tidak dapat dipungkiri bahwa
merupakan sesuatu yang harfiah jika manusia berhasrat untuk berkuasa atas yang
lain. Dan jika militer terlarang untuk dapat mengakses dunia polotik, maka yang
hadir adalah akan menciderai proses demokrasi yang sedang dilakukan. Namun yang
menjadi masalah disini adalah bagaiman agar milier sebagi sebuah variabel
bagian dari sebuah sistem tetap dapat menjaga peran dan fungsinya dalam sebuah
negara, agar tercipta sebuah keseimbangan serta keharmonisan hubungan dengan
masyarakat sipil.
Sebenarnya wacana hubungan sipil
militer bukanlah sesuatu yang baru mengingat bahwa umur militer di Indonesia
yang telah lama, artinya telah ada pengkajian awal yang telah hadir pada
masa-masa lampau. Dan keputusan militer harus kembali kebarak dan menghilangkannya
dari dunia politik seharusnya diimbangi dengan perhatian pemeritah terhadap
militer untuk menjaga agar kebutuhan mereka tetap terjaga. Militer merupakan
lembaga pertama yang menikmati perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
terutama segala hal yang berkaitan dengan persenjataan. Dari asumsi ini dapat
ditarik kesimpulan bahwa militer di Indonesia kurang mendapat perhatian dari
pemerintah dan inilah salah satu penyebab mengapa militer harus terjun
keranag-ranah yang lain. Penyebab yang lain adalah kurangnya fasilitas militer
di Indonesia, sehingga militer harus mencari priofesi yang lain untuk terus
beraktifitas. Jika militer tidak memiliki kebutuhannya sebagai militer, sudah
barang tentu akan cenderung mencari kesibukan yang lain. Dan penyebab yang
lainya yaitu pendanaan terhadap militer yang kurang yang oleh karena krisis
ekonomi yang terjadi menjadikan bangsa ini mengalami kesulitan dalam hal
pendanaan perlengkapan militer. Jika berusaha bijak maka masalah militer di
Indonesia bukanlah masalah militer seorang, tapi merupakan masalah bersama
termasuk masyarakat sipil seharusnya bertanggung jawab untuk mencari solusi
terbaik dalam menanganinya. Sebagai kesimpulan, saya mengajak kepada seluruh
pembaca untuk menanggapi masalah yang hadir secara arif agar dapat menjadi
fungsi kontrol atas kewenangan yang telah dititipkan kepada militer, menginggat
besarnya potensi militer untuk melakukan sesuatu yang dapat mengganggu jalannya
demokrasi.
F.
Kesimpulan
Bangsa
kita, khususnya para politisi atau negarawan hendaknya memiliki kearifan dalam melihat dan mensikapi sejarah
masa lalu bangsanya, khususnya sejarah (perjuangan) TNI. Hal ini sangat
penting agar dalam menentukan kebijakan politik dapat didasarkan pada fakta
yang ada di lapangan yang kemampuannya dimiliki oleh para komandan militer,
sehingga dapat sinergi antara keputusan politik dengan kondisi yang dimiliki
oleh militer dan tidak menimbulkan uninstended result.
Pada
ephoria demokrasi seperti sekarang ini ada sebagian politisi (negarawan) yang
berusaha untuk menarik-narik TNI masuk ke dalam percaturan politik. Wacana yang
berkembang adalah agar anggota TNI diberi hak memilih. Mereka, para elit
politik (mungkin) hanya melihat sesaat untung dan ruginya dalam peta politik
sehingga mereka lupa tentang arti dan makna esprit de corp dan garis komando
yang kuat serta memiliki alat kekuatan (senjata) sehingga akan membawa dampak
negatif dan membahayakan apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan
dikarenakan terjadinya perbedaan politik antar prajurit atau satuan sehingga
hal ini akan merusak jati diri TNI, soliditas dan sendi-sendi netralitas TNI.
Pada
saat ini belum saatnya tetapi untuk beberapa dekade yang akan datang (mungkin)
para prajurit dapat diberi hak suara karena (mungkin)
sudah adanya kemapanan mental dan kedewasaan dalam berpolitik.
Kemungkinan-kemungkinan tersebut hendaklah benar-benar dikaji secara teliti dan
kemudian diputuskan secara arif, bukan karena ambisi untuk memperbanyak
perolehan suara semata. Untuk itu diperlukan kearifan dalam membuat
perundang-undangan yang baik, yang mengatur peran dan fungsi TNI tanpa ada
tendensi apapun, selain demi terciptanya postur dan profesionalismenya. Oleh
karena itu dalam penentuan kebijakan dan strategi nasional yang mempertaruhkan
kelangsungan hidup bangsa dan negara seyogyanya militer-sipil
(politisi/negarawan dengan pucuk pimpinan militer) dapat duduk bersama dan
setara agar tercipta sinergi dan soliditas demi terbentuknya angkatan
bersenjata yang kuat, tangguh dan profesional serta demi keutuhan dan
kejayaan NKRI.
Para
politisi atau negarawan (sipil) hendaknya dapat memahami dengan arif dan
sungguh-sungguh peran dan fungsinya masing-masing, terlebih dalam melihat
institusi militer karena dasar suatu negara adalah organisasi militer (yang
baik). Hal itu sebagaimana diungkapkan oleh Niccolo Machiavelli (1469-1527 M)
bahwa, “Tidak mungkin ada perundang-undangan yang baik apabila tidak ada
angkatan bersenjata yang baik. Dimana terdapat angkatan bersenjata yang baik
sangat diperlukan perundang-undangan yang baik. Dasar suatu negara adalah
organisasi militer yang baik dan seorang negarawan harus belajar ilmu
kemiliteran”.
DAFTAR PUSTAKA
Feith, Herbert. 1980.
“Rezim-rezim Developmentalis Represif di Asia: Kekuatan Lama, Kerawanan Baru”, Prisma,11
(November).
Huntington, Samuel P. The
Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (Norman:
University of Oklahoma Press, 1993).
__________________. The
Soldier and The State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations
(Cambridge: Cambridge University Press, 1957).
__________________. “Mereformasi
Hubungan Sipil-Militer” dalam Larry Diamond dan Marc F. Plattner. Hubungan
Sipil-Militer dan Demokrasi penterjemah Tri Wibowo Budi Santoso (Jakarta:
RajaGrafindo, 2000).
Linz, Juan J. dan Alfred Stepan.
Problem of Democratic Transition and Consolidation: Southern Europe, South
America, and Post-Communist Europe (Baltimore: John Hopkins University,
1996).
Muhaimin, Jahja A. Perkembangan
Militer dalam Politik Indonesia 1945-1966 (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1982, cetakan kedua).
Pratiknya, Ahmad Watik, Umar
Juoro dan Indria Samego. Pandangan dan Langkah Reformasi BJ. Habibie
(Jakarta: Rajawali Press, 1999).
Rial, Juan. “Tentara dan
Masyarakat Sipil di Amerika Latin” dalam Larry Diamond dan Marc F. Plattner. Hubungan
Sipil-Militer dan Demokrasi penterjemah Tri Wibowo Budi Santoso (Jakarta:
RajaGrafindo, 2000).
Ricklefs, M. C. Sejarah
Indonesia Modern penterjemah Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1991).
Suharko. “NGO, Masyarakat Sipil,
dan Demokrasi: Kritik atas Pandangan Liberal” dalam Eric Hiariej, Ucu Martanto,
dan Ahmad Musyaddad. Politik Transisi Pasca-Soeharto (Yogyakarta:
Fisipol UGM, 2004).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar