Social Icons

Kamis, 15 November 2012

Makalah Filsafat tentang Etika Ilmu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu berupaya mengungkapkan realitas sebagaimana adanya, sedangkan moral pada dasarnya adalah petunjuk tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia. Hasil-hasil kegiatan keilmuan memberikan alternatif untuk memberikan keputusan politik dengan berkiblat pada pertimbangan moral. Ilmiuan memiliki tanggung jawab profesional, khususnya di dunia ilmu dan dalam masyarakat ilmuan itu sendiri serta mengenai metodologi yang dipakainya. Ilmuan juga memikul tanggung jawab sosial yang bisa dibedakan atas tanggung jawab legal yang formal sifatnya, dan tanggung jawab moral yang lebih luas cakupannya. Agar mendapatkan pengertian yang jelas mengenai kaitan antara ilmu dan moral, maka kajiannya harus didekati dari ketiga komponen tiang penyangga tubuh pengetahuan, yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Namun sebelum sampai pada ketiga pendekatan tersebut, dibahas dahulu mengenai etika, moral, norma, dan kesusilaan, kemudian pengertian dan ciri-ciri ilmu. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut. 1. Apa yang dimaksud etika,moral, norma dan kesusilaan? 2. Bagaimana problema etika ilmu pengetahuan? 3. Apakah ilmu bebas nilai atau tidak bebas nilai? 4. Apa yang dimaksud pendekatan ontologis? 5. Apa yang dimaksud pendekatan epistemologi? 6. Apa yang dimaksud pendekatan Aksiologi? 7. Apa saja sikap ilmiah yang dimiliki ilmuan? C. Tujuan Untuk mengetahui secara mendetail mengenai Etika Keilmuan. D. Manfaat 1. Dapat menambah wawasan mengenai Etika Keilmuan. 2. Dapat menambah pengetahuan penulis dalam menulis karya ilmiah. BAB II PEMBAHASAN A. Antara Etika, Moral, Norma dan Kesusilaan Etika secara etimologi berasal dari kata yunani ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Secara terminologi etika adalah cabang filsafat yang mebicarakan tingkah laku atauperbuatanmanusia dalam hubungannya dengan baik buruk. Yang dapat dinilai baik buruk adalah sikap manusia yaang menyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata, dan sebagainya. Adapun motif , watak, suara hati sulit untuk dinilai. Perbuatan atau tingkah laku yang dikerjakan dengan kesadaran sajalah yang dapat dinilai, sedangkan yang dikerjakan dengan tidak sadar tidak dapat dinilai baik buruk. Menurut Sunoto (1982) etika dapat dibagi menjadi etika deskriptif dan etika normatif. Etika deskriptif hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa adanya, tidak memberikan penilaian, tidak mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat. Contohnya sejarah etika. Adapun etika normatif sudah memberikan penilaian yang baik dan yang buruk, yang harus di kerjakan dan yang tidak. Etika normatif dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum membicarakan prinsip-prinsip umum, seperti apakah nilai, motifasi suatu perbuatan, suara hati dan sebagainya. Etika khusus adalah prinsip-prinsip umum, seperti etika pergaulan, etika dalam pekerjaan, dan sebagainya. (Sunoto, 1982, hlm. 6) Moral berasal dari kata latin mos jamaknya mores yang berarti adat atau cara hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada. Frans Magnis Suseno (1987) membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran moral adalah ajaran, wejangan, khotbah, peraturan lisan atau tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang yang baik. Sumber langsung ajaran moral adalah berbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat, dan agama dan tulisan para bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika melainkan ajaran moral. Etika mau mengerti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengangan berbagai ajaran moral. (Frans Magnis Suseno, 1987, hlm. 14) Norma adalah alat tukang kayu dan tukang batu yang berupa segitiga. Kemudian norma berarti sebuah ukuran. Pada perkembangannya norma diartikan garis pengarah atau suatu peraturan. Misalnya dalam suatu masyarakat pasti berlaku norma umum, yaitu norma sopan santun, norma hukum, dan norma moral. Leibniz seorang filsuf pada zaman Modern berpendapat bahwa kesusilaan adalah hasil suatu “menjadi” yang terjadi didalam jiwa. Perkembangan dari nafsu alamiah yang gelap sampai pada kehendak yang sadar, yang berarti sampai pada kesadaran kesusilaan yang telah tumbuh lengkap, disebabkan oleh aktifitas jiwa sendiri. Segala perbuatan kehendak kita sejak semula telah ada. Apa yang benar-benar kita kehendaki telah terkandung sebagai benih di dalam nafsu alamiah yang gelap. (Harun Hadiwijono, 1990, hlm. 44-45) Oleh karena itu, tugas kesusilaan pertama ialah meningkatkan perkembangan itu dalam diri manusia sendiri. Kesusilaan hanya berkaitan dengan batin kita. Akibat pandangan itu orang hanya dapat berbicara tentang kehendak yang baik dan jahat. Kehendak baik ialah jika perbuatan kehendak mewujudkan suatu bagian dari perkembangan yang sesuai dengan gagasan yang jelas dan aktual. Kehendak jahat ialah jika perbuatan kehendak diikat oleh gagasan yang tidak jelas. Menurut filsuf Herbert Spencer, pengertian kesusilaan dapat berubah, di antara bangsa berbagai pengertian kesusilaan sama sekali berbeda-beda. Pada saman negara militer, kebajikan keprajuritanlah yang dihormati, sedang pada saman negara industri hal itu dianggapp hina. Hal ini disebabkan oleh kemakmuran yang dialami pada saman industri bukan didasarkan atas perampasan dan penaklukan, melainkan atas kekuatan berproduksi. B. PROBLEM ETIKA ILMU PENNGETAHUAN Penerapan dari ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan kadang-kadang mempunyai pengaruh pada proses perkembangan lebih lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanggung jawab etis, merupakan sesutu yang menyangkut kegitan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini berarti ilmuan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia. Tanggung jawab ilmu pengetahuan dan teknologi menyangkut juga tanggung jawab terhadap hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa-masa lalu, sekarang maupun apa akibatnya bagi masa depan berdasar keputusan bebas manusia dalam kegitannya. Penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan teknologi terbukti ada yang dapat mengubah sesuatu aturan baik alam maupun manusia. Hal ini tentu saja menuntup tanggung jawab untuk selalu menjaga agar apa yang diwujudkannya dalam perubahan tersebut akan merupakan perubahan yang terbaik bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri maupun bagi perkembangan eksistensi manusia secara utuh. (Achmad Charris Zubair, 2002) Tanggung jawab etis tidak hanya menyangkut mengupayakan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi secara tepat dalam kehidupaan manusia. Akan tetapi, harus menyadari juga apa yang seharusnya dikerjakan atau tidak dikerjakan untuk memperkokoh kedudukan serta martabat manusia yang seharusnya, baik dalam hubungannya sebagai pribadi , dalam hubungan dengan lingkungannya maupun sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap khaliknya. Jadi sesuai dengan pendapat Van Meslen (1985) bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan menghambat ataupun meningkkatkan keberadaan manusia tergantung pada manusianya itu sendiri, karena ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan oleh manusia dan untuk kepentingan manusia dalam kebudayaannya. Kemajuan di bidang teknologi memerlukan kedewasaan manusia dalam arti sesungguhnya, yakni kedewasaan untuk mengerti mana yang layak dan yang tidak layak, yang buruk dann yang baik. Tugas terpenting ilmu pengetahuan dan teknologi adalah menyediakan bantuan agar manusia dapat bersungguh-sungguh mencapai pengertian tentang martabat dirinya. Ilmu pengetahuan dan teknologi bukan saja sarana untuk mengembangkan diri manusia saja, tetapi juga merupakan hasil perkembangan dan kreativitas manusia itu sendiri. C. ILMU : BEBAS NILAI ATAU TIDAK BEBAS NILAI Rasionalisasi ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descartes dengan sikap skeptis-metodisnya meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang sedang ragu-ragu (cogito ergo sum). Sikap ini berlanjut pada masa Aufklarung, suatu era yang merupakan usaha manusia untuk mencapaii pemahaman nasional tentang dirinya dan alam. Persoalannya adlah ilmu-ilmu itu berkembang dengan pesat apakah bebas nilai atau justru tidak bebas nilai. Bebas nilai yang dimaksudkan sebagaimana Josep Situmorang (1996) menyatakan bahwa bebas nilai, artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuuan itu sendiri. Paling tidak ada tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai, yaitu sebagai beriikut. 1. Ilmu harus bebas dari berbagai pengandaian, yakni bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, idiologi, agama, budaya, dan unsur kemasyarakatan lainnya. 2. Perlunya kebebeasan usaha ilmiah agar otonomi illmu pengetahuan terjamin kebebasan itu menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri. 3. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universal. Tokoh sosiologi, Weber, menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai , tetapi ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai relevan. Weber tidak yakin katika para ilmuwan sosial melakukan aktivitasnya seperti mengajar atau menulis mengenai bidang ilmu sosial mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu atau tidak bias. Nilai-nilai itu harus diimplikasikan oleh bagian-bagian praktis ilmu sosial jika praktik itu mengandung tujuan atau rasional. Tanpa keinginan melayani kepentingan segelintir orang budaya , maka ilmuan sosial tidak beralasan mengajarkan atau menulis itu semua. Suatu sikap moral yang sedemikian itu tidak mempunyai hubungan objektivitas ilmiah. (Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, 2001) Kehati-hatian Weber dalam memutuskan apakah ilmu bebas nilai atau tidak, bisa dipahami mengingat di satu pihak objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu pengetahuan, sedang dipihak lain subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya. Tokoh lain Habermas sebagaiman yang ditulis oleh Rizal Mustansyir dan misnal munir (2001) berpendirian teori sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai. Pendirian ini diwarisi Habermas dari pandangan Husserl yang melihat fakta atau objek alam diperlukan oleh ilmu pengetahuan sebagai kenyataan yang sudah jadi. Fakta atau objek ini sebenarnya sudah tersusun secara spontan dan primordial dalam pengallaman sehari-hari , dalam Lebenswelt atau dunia sebagaimana dihayati. Setiap ilmu pengetahuan mengambil dari Lebenswelt sejumlah fakta yang kemudian diilmiahkan berdasarkan kepentingan praktis. Habermas menegaskan lebih lanjut bahwa ilmu pengetahuan alam terbentuk berdasarkan kepentingan teknis. Ilmu pengetahuan alam tidaklah netral, karena isinya tidak lepas sama sekali dari kepentingan praktis. Ilmu sejarah dan hermeneutika juga ditentukan oleh kepentingan praktis kendati dengan cara yang berbeda. Kepentingannya adalah memelihara serta memperluas bidang alaing pengertian antar manusia dan perbaikan komunikasi. Setiap kegiatan teoretis yang melibatkan pola subjek-subjek selalu mengandung kepentingan tertentu. Kepentingan itu bekerja pada tiga bidang, yaitu pekerjaan, bahasa, otoritas. Pekerjaan merupakan kepentingan ilmu pengetahuan alam, bahas a merupakan kepentingan ilmu sejarah dan harmeneutika, sedang otoritas merupakan kepentingan ilmu sosial. D. PENDEKATAN ONTOLOGIS Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek apa yang telaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan? (jujun S.Suriasumantri, 1985, hlm. 34) Secara ontologi ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah–daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek penalaahan yang berada dalam batas pra-pengalaman dan pasca-pengalaman diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain. Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas ontologis tertentu. Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini adalah konsisten dengan asas epistemologi keilmuan yang mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris dalam proses penemuan dan penyusunan pernyataan yang bersifat benar secara ilmiah. Dalam kaitannya dengan kaidah moral bahwa dalam menetapkan objek penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat mengubah kodrat manusia, merendahkan martabat manusia, dan mencampuri permasalahan kehidupan. Di samping itu, secara ontologis ilmu bersifat netral terhadap nilai-nilai yang bersifat dogmatik dalam menafsirkan hakikat realitas sebab ilmu merupakan upaya manusia untuk mempelajari alam sebagaimana adanya. E. PENDEKATAN EPISTEMOLOGI Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang asal muasal, sumber, metode, struktur, dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan epistemologi mempertanyakan bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apa kriterianya? Cara atau teknik atau sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? Landasan epistemologi ilmu tercermin secara operasional dalam metode ilmiah. Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memeroleh dan menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan: (a) kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun, (b) menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut, (c) melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji kebenaran pernyataannya secara faktual. Kerangka pemikiran yang logis adalah argumentasi yang bersifat rasional dalam mengembangkan penjelasan terhadap fenomena alam. Verifikasi secara empiris berarti evaluasi secara objektif dari suatu pernyataan hipotesis terhadap pernyataan faktual. Verifikasi ini berarti bahwa ilmu terbuka untuk kebenaran lain selain yang terkandung dalam hipotesis. Demikian juga verifikasi faktual membuka diri terhadap kritik terhadap kerangka pemikiran yang mendasari pengajuan hipotesis. Kebenaran ilmiah dengan keterbukaan terhadap kebenaran baru mempunyai sifat pragmatis yang prosesnya secara berulang (siklus) berdasarkan cara berpikir kritis. Dalam kaitannya dengan moral, dalam proses kegiatan keilmuan setiap upaya ilmiah harus ditujukan untuk menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa mempunya kepentingan langsung tertentu dan hak hidup yang berdasarkan kekuatan argumentasi secara individual. Jadi ilmu merupakan sikap hidup untuk mencintai kebenaran dan membenci kebohongan. F. PENDEKATAN AKSIOLOGI Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral atau profesional? Pada`dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memerhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam. Untuk kepentingan manusia tersebut, pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun secara komunal dan universal. G. SIKAP ILMIAH YANG HARUS DIMILIKI ILMUAN Para ilmuan sebagai orang yang profesional dalam bidang keilmuan sudah barang tentu mereka juga perlu memiliki visi moral, yaitu moral khusus sebagai ilmuan. Moral inilah di dalam filsafat ilmu disebut juga sebagai sikap ilmiah. Sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap ilmuan. Hal ini disebabkan oleh sikap ilmiah yang merupakan suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif. Sikap ilmiah bagi seorang ilmuan bukanlah membahas tentang tujuan dari ilmu, melainkan bagaimana cara untuk mencapai suatu ilmu yang bebas dari prasangka pribadi dan dapat dipertanggungjawabkan secara sosial untuk melestarikan keseimbangan alam semesta ini, serta dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Artinya, kehendak manusia selaras dengan kehendak Tuhan. Sikap ilmiah yang perlu dimiliki oleh para ilmuan menurut Abbas Hamami M., (1996) sebagai berikut. 1. Tidak adanya rasa pamrih (disinterstedness). 2. Bersikap selektif. 3. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat indra serta budi (mind). 4. Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (believe) dan dengan merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian. 5. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuan harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang telah dilakukan. 6. Seorang ilmuan harus memiliki sikap etis. Yang perlu diperhatikan bagi para ilmuan khususnya di Indonesia adalah sebagaimana tertuang dalam ketetapan MPR RI nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, khususnya etika keilmuan dijelaskan bahwa etika keilmuan dimaksudkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi agar warga bangsa mampu menjaga harkat dan martabatnya, berpihak pada kebenaran untuk mencapai kemaslahatan dan kemajuan sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya.   BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Secara terminologi etika adalah cabang filsafat yang mebicarakan tingkah laku atauperbuatanmanusia dalam hubungannya dengan baik buruk. Yang dapat dinilai baik buruk adalah sikap manusia yaang menyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata, dan sebagainya. 2. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada. 3. Norma adalah alat tukang kayu dan tukang batu yang berupa segitiga. Kemudian norma berarti sebuah ukuran. Pada perkembangannya norma diartikan garis pengarah atau suatu peraturan. 4. Tugas kesusilaan pertama ialah meningkatkan perkembangan itu dalam diri manusia sendiri. Kesusilaan hanya berkaitan dengan batin kita. 5. Tanggung jawab ilmu pengetahuan dan teknologi menyangkut juga tanggung jawab terhadap hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa-masa lalu, sekarang maupun apa akibatnya bagi masa depan berdasar keputusan bebas manusia dalam kegitannya.   DAFTAR PUSTAKA Suhartono, Suparlan. 2008. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Surajiyo. 2008. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara Syafiie, Inu Kencana. 2010. Pengantar Filsafat. Bandung: PT Refika Aditama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bumi

AKU DAN MASAKU

Ahmad Munawir Saleh

Menu

Gallery Slider(Do Not Edit Here!)

Search

Copyright Text

 

Sample text

Sample Text

Sample Text