HISOTRIOGRAFI DI INDONESIA
Awal perkembangan penulisan
sejarah di Indonesia dimulai dengan adanya penulisan sejarah dalam bentuk
naskah. Beberapa sebutan untuk naskah-naskah
yaitu babad, hikayat, kronik, tambo, lontara’, dan lain-lain. Bentuk
penulisan sejarah pada
naskah-naskah tersebut, termasuk dalam kategori
historiografi tradisional. Sebutan historiografi tradisional, untuk membedakan
dengan historiografi modern. Historiografi modern sudah lebih dahulu berkembang
di Barat (Eropa). Ciri utama historiografi modern dan yang membedakan dengan
historiografi tradisional adalah penggunaan fakta. Historiografi tradisional
tidak terlalu mementingkan fakta, sedangkan historiografi modern sangat
mementingkan fakta.
Mengapa fakta menjadi hal
yang penting? Sebab fakta dapat menjadi kenyataan sejarah. Kalau kita
membicarakan cerita sejarah berdasarkan pada fakta yang benar, berarti kita
telah menceritakan suatu kenyataan sejarah yang benar. Bagaimanakah ciri fakta
dapat merupakan suatu kenyataan yang benar? Salah satu ciri fakta itu benar
adalahfakta-fakta yang diuraikan dalam sumber itu dapat masuk akal.
Banyak sekali naskah-naskah
yang tersebar di seluruh Nusantara, fakta-faktanya ada yang tidak masuk akal.
Misalkan manusia menikah dengan dewa, manusia menikah dengan binatang, binatang
melahirkan manusia, tumbuh-tumbuhan berasal dari jenazah manusia atau dewa,
seorang raja dapat terbang, dan contoh-contoh lainnya. Uraian-uraian seperti
itu, sangat sulit kita gunakan sebagai
fakta sejarah yang benar. Sebab sejarah harus membicarakan kenyataan, bukan
dongen yang bersifat fiksi. Uaraian historiografi tradisional yang demikian
itu, karena alam pikiran masyarakat yang belum bersifat rasionl dan objektif.
Uraian historiagrafi tradisional merupakan gambaran dari pikiran masyarakat
yang religio magis[1]
Maksud dari uraian ini yaitu isi naskah-naskah lama sangat dipengaruhi oleh
uraian unsur-unsur kepercayaan masyarakat setempat di mana naskah itu dibuat.
Pada masyarakat yang masih tradisional, terdapat kepercayaan yang memandang
bahwa kehidupan manusia sangat ditentukan oleh kekuatan-kekuatan di luar
manusia. Kekuatan-kekuatan itu dapat berupa alam, para dewa, benda-benda yang
dianggap sacral, dan lain-lain. Manusia tidak mampu mengubah dirinya sendiri.
Kedudukan manusia dalam suatu perubahan lebih berperan sebagai obyek, bukan
subyek atau penentu.
1
|
Berdasarkan contoh cerita
historiografi tersebut terlihat bagaimana manusia tidak menjadi penentu dalam
suatu cerita sejarah. Terbentuknya asal usul suatu daerah berdasarkan cerita
historigrafi tradisional, bukan ditentukan oleh manusia, tetapi yang menentukan
adalah dewa. Ketika dewa menurunkan utusannya ke muka bumi, maka terbentuklah
suatu tatanan masyarakat.
Perkembangan historiografi
seiring dengan perkembangan alam pikiran manusia. Begitu pula halnya dalam
perkembangan historiografi di Indonesia. Historiografi di Indonesia seiring
pula dengan perkembangan sejarah Indonesia. Historiografi tradisional Indonesia
sudah ada jauh sebelum kedatangan para penjajah.
II
Salah satu perkembangan
penting dalam penulisan sejarah di Indonesia yang mengarah pada bentuk
historiografi yang modern adalah penulisan sejarah yang ditulis oleh orang
Belanda. Sebuah tim yang terdiri para sarjana ahli sejarah dan diketuai Dr.
F.W. Stapel dipercayakan menulis sejarah tentang negeri jajahan yaitu
Indonesia. Judul buku sejarah yang ditulis tersebut yaitu Geschiedenis van Nederlandsch Indie (Sejarah Hindia Belanda).
Buku yang ditulis oleh
Stapel tersebut lebih banyak menceritakan peran penjajahan Belanda di
Indonesia. Penjajah Belanda merupakan subyek atau pemeran utama dalam cerita
sejarah, sedangkan bangsa Indonesia hanyalah merupakan obyek dari cerita
sejarah. Bangsa Belanda merupakan pemilik daerah jajahan, orang yang harus
dipertuan, sedangkan bangsa Indonesia hanya merupakan “abdi” bangsa Belanda.[3]
Tindakan-tindakan bangsa Indonesia yang bertentangan dengan penjajah Belanda
dianggap sebagai suatu pemberontakan.
Tokoh-tokoh penting dari
orang Belanda dianggap sebagai orang besar, sedangkan tokoh-tokoh bangsa
Indonesia yang oleh bangsa Indonesia dianggap sebagai pahlawan, tetapi bagi
Belanda dianggap sebagai orang yang jelek, orang jahat dan citra negative
lainnya. Misalnya diceritakan bagaimana
kompeni merasa kehilangan besar ketika
J. P. Coen seorang Gubernur Jenderal meninggal. Dia dikuburkan dengan acara
penguburan yang besar. Ketika akan dikuburkan, rakyat Betawi mengusungnya.
Contoh sebaliknya adalah cerita tentang sultan Banten. Diceritakan bahwa Sultan
Ageng Tirtayasa adalah seorang yang cerdik, bijaksana dan taat menjalankan
ajaran agamanya (Islam). Namun dibalik itu semua diceritakan pula dia memiliki
kelakuan yang bengis, hatinya jelek, selamanya memusuhi kompeni dan inging
memajukan Banten dan membinasakan Betawi (Jakarta).
Uraian penulisan sejarah
yang demikian itu, sebagaimana yang ditulis oleh Stapel, disebut dengan pendekatan
penulisan yang Nederlandosentris. Artinya penulisan sejarah Indonesia yang
dilihat dari sudut Belanda. Buku yang ditulis oleh Stapel tersebut, bukanlah
merupakan sejarah Indonesia, akan tetapi merupakan suatu penulisan sejarah
penjajahan Belanda atau sejarah Belanda di negeri jajahan. Oleh karena
penulisan sejarah yang lebih menampilkan orang Belanda, maka orang Belanda
(penjajah) menjadi subyek dalam cerita sejarah, sedangkan bangsa Indonesia
sebagai obyek dari cerita sejarah. Bangsa Indonesia dikenal dengan sebutan kaum
pribumi. Sebutan ini lebih menunjukkan bahwa bangsa Indonesia bukan sebagai
bangsa, tidak memiliki suatu Negara. Kedudukan bangsa Indonesia hanya sebagai
pelayan bagi orang Belanda.
Penulisan sejarah yang
Nederlandosentris dalam perkembangan kemudian banyak mendapat kritikan.
Nederlandosentris tidak dapat menampilkan peran bangsa Indonesia atau penulisan
yang berdasar pada nasionalisme bangsa Indonesia. Penulisan sejarah yang lebih
menonjolkan peran bangsa Indonesia atau Indonesiasentris merupakan bentuk dari
dekolonisasi terhadap historiografi, artinya pelepasan penjajahan dalam
penulisan sejarah.[4]
III
Sejak awal kemerdekaan
semangat penulisan sejarah yang Indonesiasentris telah muncul. Salah satu cara
yang dilakukan oleh para penulis sejarah Indonesia, khususnya penulis buku-buku
pelajaran sejarah, mengubah judul buku sejarahnya menjadi “Sejarah Indonesia”.
Penulisan buku sejarah ini khususnya diperuntukkan kepentingan sekolah. Sejak
awal kemerdekaan, sejarah merupakan mata pelajaran yang wajib diberikan di
sekolah mulai Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah
Menengah Atas (SMA). Sesuai dengan semangat perjuangan, nama sejarah yang
dipakai adalah Sejarah Indonesia. Istilah Sejarah Indonesia sebenarnya sudah
ada sejak tahun 1942. Sebelum tahun 1942 pelajaran sejarah yang ada yaitu
Sejarah Hindia Belanda (Geschiedenis van
Nederlands-Indie) dan Sejarah Tanah Hindia (Indische Geschiedenis). [5]
Pada masa pendudukan Jepang
pelajaran sejarah mendapat pengawasan yang ketat dari badan-badan propaganda
dan kebudayaan bentukan Pemerintah Militer Jepang. Sikap pemerintahan
pendudukan Jepang tersebut, merupakan salah satu upaya untuk menghilangkan
pengaruh Barat (Belanda) terhadap kaum pribumi melalui jalur pendidikan,
sehingga istilah “Sejarah Tanah Hindia” (Indische Geschiedenis) diubah menjadi
“Sejarah Indonesia”.[6]
Berakhirnya pendudukan
Jepang memberikan semangat baru dalam pelajaran sejarah. Muncul buku-buku
pelajaran sejarah sebagai buku pegangan yang dipakai disekolah. Buku-buku tersebut
ada yang resmi diterbitkan oleh pemerintah dan ada pula yang ditulis oleh guru
sendiri yang berupa diktat maupun diterbitkan sebagai buku.
Buku yang diterbitkan
tersebut ternyata tidak begitu memuaskan bagi kepentingan pendidikan
kebangsaan. Kebanyakan buku-buku tersebut mengambil dari sumber yang sama,
yaitu karya Dr. F.W. Stapel yang diterbitkan pada tahun 1939. Penggunaan sumber
dari karya Stapel tidak akan dapat membangun semangat nasionalisme Indonesia,
sebab buku karya Stapel lebih berorientasi
pada Nederlandosentris.
Ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi dalam penulisan sejarah Indonesia sebagai upaya dekolonisasi,
yaitu:
1. Sejarah
Indonesia yang wajar ialah sejarah yang mengungkapkan “sejarah dari dalam” di
mana bangsa Indonesia sendiri memegang peranan pokok.
2. Proses
perkembangan masyarakat Indonesia hanya dapat diterangkan sejelas-jelasnya
dengan menguraikan faktor atau kekuatan yang mempengaruhinya, baik ekonomi,
social maupun politik ataupun cultural.
3. Erat
berhubungan kedua pokok di atas perlu ada pengungkapan aktivitas dari pelbagai
golongan masyarakat, tidak hanya para bangsawan atau ksatria, tetapi juga dari
kaum ulama atau petani serta golongan-golongan lainnya.
4. Untuk
menyusun sejarah Indonesia sebagai suatu sintese, dimana digambarkan proses
yang menunjukkan perkembangan kearah kesatuan geopolitik seperti yang kita
hadapi dewasa ini maka prinsip integrasi perlu dipergunakan untuk mengukur seberapa
jauh integrasi itu dalam masa-masa tertentu telah tercapai.[7]
Permasalahan
penulisan buku sejarah, kemudian menjadi bahan pemikiran perlunya penulisan
sejarah yang Indonesiasentris. Melalui Keputusan Menteri Pendidikan Pengajaran
dan Kebudayaan tanggal 13 Maret 1957 No. 28201/5, diselenggarakan Seminar
Sejarah Nasional I pada tanggal 14 sampai dengan 18 Desember 1957 di
Yogyakarta. Topik yang dibicarakan dalam seminar tersebut meliputi:
1. Konsep
filosofis sejarah nasional.
2. Periodisasi
sejarah Indonesia
3. Syarat
penulisan buku sejarah nasional Indonesia.
4. Pengajaran
sejarah Indonesia di sekolah-sekolah.
5. Pendidikan
sejarawan.
6. Pendidikan
dan pengajaran bahan-bahan sejarah.[8]
Kepentingan
pemerintah dalam seminar tersebut adalah bagaimana pelajaran sejarah mampu
membentuk kepribadian bangsa. Sejarah Indonesia harus ditulis dengan konteks
indonesiasentris sebagai bentuk sikap kontraproduktif terhadap pendekatan yang
Nederlandosentris. Menurut Moh. Ali, forum Seminar Sejarah Nasional belum
mengarah pada penulisan dan pengajaran sejarah Indonesia sebagai sejarah
nasional. Pembicaraan yang berkembang dalam forum, seputar pendapat-pendapat
tentang sejarah dan paham kebangsaan serta watak bangsa Indonesia tanpa
didukung dengan fakta-fakta sejarah sekaligus tanpa kesadaran sejarah.
Pembicaraan yang lebih menonjol lagi yaitu pemikiran mengenai mungkin tidaknya
penyusunan suatu filsafat sejarah nasional.
Pembicaraan
mengenai filsafat sejarah nasional terdapat dua pemikiran, yaitu antara Soedjatmoko dan Moh. Yamin. Menurut
Soedjatmoko, pengertian filsafat sejarah nasional tidak layak dibicarakan dalam
bidang ilmu sejarah atau filsafat sejarah. Penyelidikan sejarah harus bebas
dari ikatan filsafat sejarah tertentu. Sejarah sebagai disiplin ilmu
pengetahuan jangan mengabdi pada ideology tertentu. Penyelidikan sejarah
Indonesia harus berpangkal pada masyarakat Indonesia. Istilah filsafat sejarah
nasional dilihat dari aspek filsafat kuranglah tepat. Filsafat sejarah, baru
dapat dibicarakan sesudah hasil penelitian sejarah.[9]
Adapun
menurut Moh. Yamin, setelah Proklamasi Kemerdekaan, penyusunan filsafat sejarah
Indonesia (nasional) sangat perlu. Adanya filsafat sejarah nasional membuat
penulisan sejarah nasional Indonesia mempunyai sendi yang berdasarkan alam
pikiran untuk menyusun sejarah Indonesia kembali. Filsafat sejarah nasional
bertugas mencari pembentukan sejarah, pengertian sejarah dan persatuan dalam
makna hubungan umum dari kejadian-kejadian yang telah berlaku dalam masyarakat
suatu bangsa. Suatu konsepsi sejarah nasional dibentuk untuk member petunjuk
kepada pengajar dan cara mengajarkan atau penulis yang menuliskan sejarah
bangsa.[10]
Pada tahun 1963 dibentuk panitia untuk melaksanakan penulisan kembali Sejarah
Indonesia, namun karena pada tahun-tahun berikutnya di Negara kita terjadi
krisis politik, menyebabkan panitia tidak dapat menghasilkan sesuatu.
IV
Titik
terang dalam perkembangan penulisan buku sejarah nasional kembali muncul dengan
diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Kedua di Yogyakarta pada tahun
1970. Pada kesempatan ini generasi baru sejarawan mengajukan kertas kerja dalam
jumlah cukup besar. Pokok-pokok kertas kerja itu mencakup periode pra sejarah
sampai dengan priode yang paling modern. Hal ini merupakan suatu langkah yang
lebih maju dibandingkan dengan seminar tahun 1957, di samping itu juga dapat
dipandang sebagai suatu tanda bahwa sudah ada kemungkinan yang lebih besar
untuk meneruskan usaha penulisan sejarah nasional. Jumlah sejarawan yang ada
meskipun belum banyak pengalaman dalam penulisan, tetapi cukup memadai untuk
membentuk kelompok kerja yang akan melaksanakan tugas penulisan. Di samping itu
keperluan penulisan buku sejarah untuk digunakan di sekolah semakin mendesak.
Kedua hal itu mendorong para sejarawan untuk mengusulkan kepada Mendikbud agar
dibentuk suatu tim yang ditugaskan untuk menuliskan kembali sejarah Indonesia.
Mendikbud dengan SK. No. 0173/1970 mengangkat Panitia Penyusunan Buku Standar
Sejarah Nasional Indonesia berdasarkan Pancasila yang dapat digunakan di
Perguruan Tinggi dan sekaligus akan dijadikan bahan dari buku teks sejarah
untuk sekolah dasar sampai dengan sekolah lanjutan tingkat atas. Panitia ini
berhasil menyusun buku teks sejarah nasional sebanyak 6 jilid.[11]
Penyusunan
keenam buku tersebut berdasarkan periodisasi sejarah Indonesia. Periodisasi
sejarah dari keenam jilid tersebut adalah:
1. Jilid
I Zaman Prasejarah di Indonesia.
2. Jilid
II Zaman Kuno (Awal Masehi sampai 1600 M).
3. Jilid
III Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia
(1600 M – 1800 M).
4. Jilid
IV Abad Kesembilanbelas (1800 M – 1900 M).
5. Jilid
V Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Akhir Hindia Belanda (1900 M – 1942).
6. Jilid
VI Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia (1942 – 1972).
Upaya
perbaikan terhadap penulisan sejarah Indonesia terus dilakukan baik bagi
kepentingan pendidikan maupun pengembangan keilmiahan ilmu sejarah. Pemerintah
dan para sejarawan memiliki perhatian yang cukup besar. Salah satu upaya yang
dilakukan adalah dengan diadakannya Seminar Sejarah Nasional yang ketiga di
Jakarta pada tanggal 10 sampai 15 November 1981, dan dan Seminar Sejarah
Nasional yang keempat di Jogyakarta pada tanggal 16 sampai dengan 19 Desember
1985. Seminar Sejarah Nasional yang kelima dilaksanakan di Jakarta pada bulan
Oktober 2001, dan Seminar Nasional yang keenam dilaksanakan di Jakarta pada
bulan November 2006.
V
Perkembangan
penulisan sejarah dapat pula dilihat dari perkembangan penulisan sejarah yang berada
di perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi yang membuka Jurusan Pendidikan
Sejarah yang diperuntukkan calon guru-guru sejarah, dan Jurusan Sejarah yang
diperuntukkan calon sejarawan, baik untuk tingkat sarjana maupun pascasarjana.
Pada perguruan tinggi, penulisan sejarah lebih mengarah pada penulisan sejarah
yang bersifat akademik. Dalam arti bahwa pendekatannya lebih melihat sejarah
sebagai ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu sejarah di perguruan tinggi seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Penulisan sejarah yang akademik lebih
menekankan studi yang lebih kritis. Kaidah-kaidah ilmu pengetahuan sangat
berlaku dalam penulisan sejarah yang bersifat akademik.
Kaidah-kaidah
akademik yang diterapkan dalam penulisan sejarah di perguruan tinggi, yaitu
penulisan sejarah yang menggunakan teori dalam menjelaskan fakta sejarah.
Penulisan sejarah tidak hanya sebatas menceritakan kejadian semata yang
bersifat naratif. Teori yang digunakan untuk menerangkan kejadian itu dengan
mengkaji sebab-sebabnya, kondisi lingkungannya, konteks social kulturalnya, dan
sebagainya. Secara mendalam dilakukan analisis tentang faktor-faktor kausal,
kondisional, kontekstual serta unsur-unsur yang merupakan komponen dan eksponen
dari proses sejarah yang dikaji.[12]
Penulisan sejarah yang demikian, adalah penulisan sejarah yang bukan hanya
menampilkan sejarah sebagai suatu peristiwa belaka, tetapi sejarah ditampilkan
dalam penulisan struktur atau pendekatan structural.. Dalam sejarah struktur
perubahan terjadi sebagai proses yang
disebabkan oleh berbagai interaksi antar manusia baik sebagai individu maupun
kelompok. Interaksi tersebut akan menunjukkan adanya suatu pola atau struktur
tertentu. Pendekatan structural melihat sejarah sebagai proses perubahan yang
ditulis secara deskriptif-analitis.[13]
Untuk menampilkan penulisan sejarah dengan pendekatan struktur, maka digunakan
teori-teori ilmu social.
Dalam
perkembangan berikutnya, penulisan sejarah tidak hanya dengan pendekatan
structural. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, muncul pendekatan
strukturis dalam penulisan sejarah. Pendekatan ini untuk pertamakali
dikembangkan oleh Christopher Llyod.[14] Pendekatan strukturis seolah-olah memberikan
perbaikan terhadap metode individualis dan structural. Dalam metode
individualis, individu begitu menonjol dalam penulisan sejarah, sedangkan
struktur tidak tampak. Begitu pula sebaliknya dalam metode structural, struktur
sangat menonjol, sedangkan individu tidak nampak. Metode strukturis mencoba
mencoba memadukan pendekatan individual dan metode structural yang holistic.
Dalam metode strukturis, peristiwa dan struktur social tidak bersifat dikotomik
tetapi merupakan suatu dualisme simbiotik yang berdialektik. Maksudnya
peristiwa mengandung kekuatan mengubah struktur social, sedangkan struktur
social mengandung hambatan atau dorongan bagi tindakan perubahan.[15]
Metode strukturis banyak dikembangkan dalam perkuliahan di Program Pascasarjana
Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia.
Daftar Pustaka
Ali, Mohammad. 1995.
“Beberapa Masalah Tentang Historiografi Indonesia”, dalam Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar, Editor Soedjatmoko. Jakarta: Gramedia.
_______. 1963. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia,
Jakarta: Bharata.
Kartodirdjo, Sartono.
1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam
Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia.
_______ 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi
Indonesia: Suatu Alternatif, Jakarta: Gramedia.
_______, et. al. 1977.Sejarah Nasionl Indonesia I, Jakarta:
Balai Pustaka.
Llyod, Christopher.
1993. The Structures of History, London:
Basil Blackwell.
Rahim, A. Rahman.
1992. Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis,
Ujung Pandang: Hasanuddin University Press.
8
|
[1] Sartono Kartodirdjo, Pemikiran
dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif, (Jakarta:
Gramedia, 1982), hal. 3.
[2] A. Rahman Rahim, Nilai-nilai
Utama Kebudayaan Bugis, (Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1992 ),
hal. 38-99.
[3] R. Moh. Ali, Pengantar Ilmu
Sejarah Indonesia, (Jakarta: Bharata, 1963), hal. 306-312. Lihat pula Moh.
Ali, Beberapa Masalah Tentang
Historiografi Indonesia, dalam Soedjatmoko, (Jakarta: Gramedia, 1995), hal.
1.
[4] Sartono Kartodirdjo, Op. Cit.,
hal. 29.
[5] Mohammad Ali, “Beberapa Masalah Tentang Historiografi Indonesia”,
dalam Soedjatmoko, Historiografi
Indonesia: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Gramedia, 1995), hal. 1.
[6] Ibid.
[7] Sartono Kartodirdjo, et. al. Sejarah
Nasionl Indonesia I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1977) hal. Xi
[8] Himpunan Lengkap Kertas Kerja
Seminar Sejarah Nasional Indonesia I, 14 – 19 Desember 1957 Yogyakarta,
(Jakarta: PPIS-LIPI, 1976).
[9] Soedjatmoko, Merintis Hari
Depan, (Jakarta: Gramedia, 1987), hal. 183- 201.
[11] Sartono Kartodirdjo, at. al. op.
cit., hal. xi
[12] Sartono Kartodirdjo, Pendekatan
Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia, 1992), hal. 2.
[13] Ibid., hal. 109-110.
[14] Christopher Llyod, The
Structures of History, (London: Basil Blackwell, 1993).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar