Social Icons

Senin, 12 November 2012

Globalisasi

Globalisasi Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya popular, dan bentuk bentuk interaksi yang lain. Dalam banyak hal, globalisasi mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan internasionalisasi, dan istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau batas batas negara. Pengertian Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Sebagai fenomena baru, globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat. Mitos yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri. Kebudayaan lokal atau etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global. Anggapan atau jalan pikiran di atas tersebut tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tak berguna. John Naisbitt (1988), dalam bukunya yang berjudul Global Paradox ini memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Naisbitt (1988) mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks, yaitu semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin kesukuan, dan berpikir lokal, bertindak global. Hal ini dimaksudkan kita harus mengkonsentrasikan kepada hal-hal yang bersifat etnis, yang hanya dimiliki oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai modal pengembangan ke dunia Internasional. Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. [sunting] Ciri globalisasi Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia. Hilir mudiknya kapal-kapal pengangkut barang antarnegara menunjukkan keterkaitan antarmanusia di seluruh dunia • Perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda. • Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan eprdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO). • Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan. • Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain. Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi ini telah membawa kita pada globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu. Giddens menegaskan bahwa kebanyakan dari kita sadar bahwa sebenarnya diri kita turut ambil bagian dalam sebuah dunia yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan selera dan rasa ketertarikan akan hal sama, perubahan dan ketidakpastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi. Sejalan dengan itu, Peter Drucker menyebutkan globalisasi sebagai zaman transformasi sosial. Setiap beberapa ratus tahun dalam sejarah manusia, transformasi hebat terjadi. Dalam beberapa dekade saja, masyarakat telah berubah kembali baik dalam pandangan mengenai dunia, nilai-nilai dasar, struktur politik dan sosial, maupun seni. Lima puluh tahun kemudian muncullah sebuah dunia baru. [sunting] Teori globalisasi Cochrane dan Pain menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan globalisasi, terdapat tiga posisi teroritis yang dapat dilihat, yaitu: • Para globalis percaya bahwa globalisasi adalah sebuah kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata terhadap bagaimana orang dan lembaga di seluruh dunia berjalan. Mereka percaya bahwa negara-negara dan kebudayaan lokal akan hilang diterpa kebudayaan dan ekonomi global yang homogen. meskipun demikian, para globalis tidak memiliki pendapat sama mengenai konsekuensi terhadap proses tersebut. • Para globalis positif dan optimistis menanggapi dengan baik perkembangan semacam itu dan menyatakan bahwa globalisasi akan menghasilkan masyarakat dunia yang toleran dan bertanggung jawab. • Para globalis pesimis berpendapat bahwa globalisasi adalah sebuah fenomena negatif karena hal tersebut sebenarnya adalah bentuk penjajahan barat (terutama Amerika Serikat) yang memaksa sejumlah bentuk budaya dan konsumsi yang homogen dan terlihat sebagai sesuatu yang benar dipermukaan. Beberapa dari mereka kemudian membentuk kelompok untuk menentang globalisasi (antiglobalisasi). • Para tradisionalis tidak percaya bahwa globalisasi tengah terjadi. Mereka berpendapat bahwa fenomena ini adalah sebuah mitos sematau atau, jika memang ada, terlalu dibesar-besarkan. Mereka merujuk bahwa kapitalisme telah menjadi sebuah fenomena internasional selama ratusan tahun. Apa yang tengah kita alami saat ini hanyalah merupakan tahap lanjutan, atau evolusi, dari produksi dan perdagangan kapital. • Para transformasionalis berada di antara para globalis dan tradisionalis. Mereka setuju bahwa pengaruh globalisasi telah sangat dilebih-lebihkan oleh para globalis. Namun, mereka juga berpendapat bahwa sangat bodoh jika kita menyangkal keberadaan konsep ini. Posisi teoritis ini berpendapat bahwa globalisasi seharusnya dipahami sebagai "seperangkat hubungan yang saling berkaitan dengan murni melalui sebuah kekuatan, yang sebagian besar tidak terjadi secara langsung". Mereka menyatakan bahwa proses ini bisa dibalik, terutama ketika hal tersebut negatif atau, setidaknya, dapat dikendalikan. [sunting] Proses terjadinya globalisasi Banyak sejarawan yang menyebut globalisasi sebagai fenomena di abad ke-20 ini yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional. Padahal iteneraksi antarbangsa di dunia telah ada selama berabad-abad. Bila ditelusuri, benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdaganan antarnegeri sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Saat itu, para pedagang dari Cina dan India mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalan darat (seperti misalnya jalur sutera) maupun jalan laut untuk berdagang. Fenomena berkembangnya perusahaan McDonald di seluroh pelosok dunia menunjukkan telah terjadinya globalisasi Fase selanjutnya ditandai dengan dominasi perdagangan kaum muslim di Asia dan Afrika. Kaum muslim membentuk jaringan perdagangan yang antara lain meliputi Jepang, Cina, Vietnam, Indonesia, Malaka, India, Persia, pantai Afrika Timur, Laut Tengah, Venesia, dan Genoa. Di samping membentuk jaringan dagang, kaum pedagang muslim juga menyebarkan nilai-nilai agamanya, nama-nama, abjad, arsitek, nilai sosial dan budaya Arab ke warga dunia. Fase selanjutnya ditandai dengan eksplorasi dunia secara besar-besaran oleh bangsa Eropa. Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda adalah pelopor-pelopor eksplorasi ini. Hal ini didukung pula dengan terjadinya revolusi industri yang meningkatkan keterkaitan antarbangsa dunia. berbagai teknologi mulai ditemukan dan menjadi dasar perkembangan teknologi saat ini, seperti komputer dan internet. Pada saat itu, berkembang pula kolonialisasi di dunia yang membawa pengaruh besar terhadap difusi kebudayaan di dunia. Semakin berkembangnya industri dan kebutuhan akan bahan baku serta pasar juga memunculkan berbagai perusahaan multinasional di dunia. Di Indinesia misalnya, sejak politik pintu terbuka, perusahaan-perusahaan Eropa membuka berbagai cabangnya di Indonesia. Freeport dan Exxon dari Amerika Serikat, Unilever dari Belanda, British Petroleum dari Inggris adalah beberapa contohnya. Perusahaan multinasional seperti ini tetap menjadi ikon globalisasi hingga saat ini. Fase selanjutnya terus berjalan dan mendapat momentumnya ketika perang dingin berakhir dan komunisme di dunia runuh. Runtuhnya komunisme seakan memberi pembenaran bahwa kapitalisme adalah jalan terbaik dalam mewujudkan kesejahteraan dunia. Implikasinya, negara negara di dunia mulai menyediakan diri sebagai pasar yang bebas. Hal ini didukung pula dengan perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi. Alhasil, sekat-sekat antarnegara pun mulai kabur. [sunting] Globalisasi Perekonomian Globalisasi perekonomian merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi perekonomian mengharuskan penghapusan seluruh batasan dan hambatan terhadap arus modal, barang dan jasa. Ketika globalisasi ekonomi terjadi, batas-batas suatu negara akan menjadi kabur dan keterkaitan antara ekonomi nasional dengan perekonomian internasional akan semakin erat. Globalisasi perekonomian di satu pihak akan membuka peluang pasar produk dari dalam negeri ke pasar internasional secara kompetitif, sebaliknya juga membuka peluang masuknya produk-produk global ke dalam pasar domestik. Menurut Tenri Abeng, perwujudan nyata dari globalisasi ekonomi antara lain terjadi dalam bentuk-bentuk berikut: • Globalisasi produksi, di mana perusahaan berproduksi di berbagai negara, dengan sasaran agar biaya produksi menajdi lebih rendah. Hal ini dilakukan baik karena upah buruh yang rendah, tarif bea masuk yang murah, infrastruktur yang memadai ataupun karena iklim usaha dan politik yang kondusif. Dunia dalam hal ini menjadi lokasi manufaktur global. Kehadiran tenaga kerja asing merupakan gejala terjadinya globalisasi tenaga kerja • Globalisasi pembiayaan. Perusahaan global mempunyai akses untuk memperoleh pinjaman atau melakukan investasi (baik dalam bentuk portofolio ataupun langsung) di semua negara di dunia. Sebagai contoh, PT Telkom dalam memperbanyak satuan sambungan telepon, atau PT Jasa Marga dalam memperluas jaringan jalan tol telah memanfaatkan sistem pembiayaan dengan pola BOT (build-operate-transfer) bersama mitrausaha dari manca negara. • Globalisasi tenaga kerja. Perusahaan global akan mampu memanfaatkan tenaga kerja dari seluruh dunia sesuai kelasnya, seperti penggunaan staf profesional diambil dari tenaga kerja yang telah memiliki pengalaman internasional atau buruh kasar yang biasa diperoleh dari negara berkembang. Dengan globalisasi maka human movement akan semakin mudah dan bebas. • Globalisasi jaringan informasi. Masyarakat suatu negara dengan mudah dan cepat mendapatkan informasi dari negara-negara di dunia karena kemajuan teknologi, antara lain melalui: TV,radio,media cetak dll. Dengan jaringan komunikasi yang semakin maju telah membantu meluasnya pasar ke berbagai belahan dunia untuk barang yang sama. Sebagai contoh : KFC, celana jeans levi's, atau hamburger melanda pasar dimana-mana. Akibatnya selera masyarakat dunia -baik yang berdomisili di kota ataupun di desa- menuju pada selera global. • Globalisasi Perdagangan. Hal ini terwujud dalam bentuk penurunan dan penyeragaman tarif serta penghapusan berbagai hambatan nontarif. Dengan demikian kegiatan perdagangan dan persaingan menjadi semakin cepat, ketat, dan fair. Thompson mencatat bahwa kaum globalis mengklaim saat ini telah terjadi sebuah intensifikasi secara cepat dalam investasi dan perdagangan internasional. Misalnya, secara nyata perekonomian nasional telah menjadi bagian dari perekonomian global yang ditengarai dengan adanya kekuatan pasar dunia. [sunting] Globalisasi kebudayaan sub-kebudayaan Punk, adalah contoh sebuah kebudayaan yang berkembang secara global Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem dari kebudayaan. Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini ( Lucian W. Pye, 1966 ). Namun, perkembangan globalisasi kebudayaan secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak melalui media menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama komunikasi antarbangsa. Perubahan tersebut menjadikan komunikasi antarbangsa lebih mudah dilakukan, hal ini menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi kebudayaan. [sunting] Ciri berkembangnya globalisasi kebudayaan • Berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional. • Penyebaran prinsip multikebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya. • Berkembangnya turisme dan pariwisata. • Semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain. • Berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain. • Bertambah banyaknya event-event berskala global, seperti Piala Dunia FIFA. Banyak orang yang salah memahami kompetisi, seperti juga banyak orang yang salah memahami globalisasi. Bagi para penentangnya globalisasi dianggap sebagai upaya pemiskinan dan pembatasan akses masyarakat dan negara miskin terhadap pertumbuhan ekonomi. Kompetisi yang tercipta didalam globalisasi dianggap tidak seimbang dan lebih menguntungkan negara maju. Globalisasi acapkali dianggap tak lebih daripada senjata ekonomi Liberal yang lebih mementingkan persaingan bebas, dimana yang kuat akan menguasai yang lemah. Akan tetapi fakta perkembangan ekonomi ternyata menunjukkan fakta lain. Globalisasi ternyata justru memberikan akses yang besar kepada masyarakat terhadap pertumbuhan ekonomi. Fenomena ini juga semakin didukung oleh kemajuan tehnologi informasi yang membuat masyarakat semakin mudah memperoleh akses yang yang mereka inginkan. Tuduhan terhadap praktek ekonomi Liberal yang lebih mementingkan ”si kuat” daripada ”si lemah” juga semakin tak terbukti. Ekonomi Liberal seperti juga Politik Liberal menempatkan checks dan balance, pembatasan kekuasaan dan penyalahgunaan kekuasaan sebagai titik pijakan yang utama. Dalam lapangan ekonomi kekuatan utama dalam melakukan pengecekan adalah kompetisi. Perdagangan bebas memiliki tujuan penegakan kompetisi. Adanya perdagangan bebas membuat cek dan balance terhadap perusahaan-perusahaan besar dapat dilakukan dan mencegah mereka melakukan proteksionism. Tak adanya pesaing yang berarti, akibat menikmati proteksi, membuat perusahaan-perusahaan besar pada akhirnya cenderung melakukan monopoli. Efek negatif yang muncul dari praktek proteksi dan monopoli berujung pada hilangnya kemauan produsen untuk meningkatkan mutu produksi mereka karena tiadanya persaingan. Produk pun akan menjadi lebih mahal. Pragmatisme Bagaimana dengan Indonesia? Prinsip globalisasi adalah adanya pembagian kerja untuk mencapai efisiensi. Sinyalemen bahwa Indonesia dengan tenaga kerja melimpah dan upah buruh murah hanya kebagian industri ”peluh” (sweatshop) seperti pakaian jadi dan alas kaki dalam rantai kegiatan produksi global, terbukti sebagian besar benar. China, India, dan Malaysia juga memulai dengan sweatshop, tetapi kemudian mampu meng-upgrade industrinya dengan cepat. Hal ini yang tidak terjadi di Indonesia. Kebijakan Indonesia menghadapi globalisasi sendiri selama ini lebih didasarkan pada sikap pragmatisme. Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Hadi Soesastro (Globalization: Challenge for Indonesia) mengatakan, kebijakan pemerintah menghadapi globalisasi tidak didasarkan pada pertimbangan ideologis, tetapi lebih pada penilaian obyektif apa yang bisa dicapai negara-negara Asia Timur lain. Apalagi, saat itu di antara negara-negara di kawasan Asia sendiri ada persaingan, berlomba untuk meliberalisasikan perekonomiannya agar lebih menarik bagi investasi global. Momentum ini didorong lagi oleh munculnya berbagai kesepakatan kerja sama ekonomi regional seperti AFTA dan APEC. Pemerintah meyakini melalui liberalisasi pasar, industri dan perusahaan-perusahaan di Indonesia akan bisa menjadi kompetitif secara internasional. Sejak pertengahan tahun 1980-an, Indonesia sudah mulai meliberalisasikan dan menderegulasikan rezim perdagangan dan investasinya. Selama periode 1986-1990, tidak kurang dari 20 paket kebijakan liberalisasi perdagangan dan investasi diluncurkan. Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Timur yang memulai program liberalisasi ekonomi dengan liberalisasi rezim devisa. Namun, dalam banyak kasus, paket kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk mendorong sektor swasta waktu itu cenderung reaktif dan tak koheren serta diskriminatif karena sering kali tidak menyertakan kelompok atau sektor tertentu dari program deregulasi. Jadi, tidak mendorong terjadinya persaingan yang sehat. Pengusaha tumbuh dan menggurita bukan karena ia efisien dan kompetitif, tetapi karena ia berhasil menguasai aset dan sumber daya ekonomi, akibat adanya privelese atau KKN dengan penguasa. Kini Indonesia terkesan semakin gamang menghadapi globalisasi, terutama di tengah tekanan sentimen nasionalisme di dalam negeri. Di pihak pemerintah sendiri, karena menganggap sudah sukses melaksanakan tahap pertama liberalisasi (first-order adjustment) ekonomi, pemerintah cenderung menganggap sepele tantangan yang menunggu di depan mata. Ini tercermin dari sikap taken for granted dan cenderung berpikir pendek. Padahal, tantangan akan semakin berat dan kompleks sejalan dengan semakin dalamnya integrasi internasional. Belum jelas bagaimana perekonomian dan bangsa ini menghadapi kompetisi lebih besar yang tidak bisa lagi dibendung. Jika China yang the world’s factory dan India yang kini menjadi surga outsourcing IT dunia berebut menjadi pusat inovasi dunia, manufacture hub, atau mimpi-mimpi lain, Indonesia sampai saat ini belum berani mencanangkan menjadi apa pun atau mengambil peran apa pun di masa depan. Jika Indonesia sendiri tak mampu memberdayakan dan menolong dirinya serta membiarkan diri tergilas arus globalisasi, selamanya bangsa ini hanya akan menjadi tukang jahit dan buruh. Menurut seorang panelis, yang dibutuhkan Indonesia sekarang ini adalah visioning, repositioning strategy, dan leadership. Tanpa itu semua, kita tidak akan pernah beranjak dari transformasi yang terus berputar-putar. Dengan visi jelas, tahapan-tahapan yang juga jelas, dan komitmen semua pihak serta kepemimpinan yang kuat untuk mencapai itu, tahun 2030 bukan tidak mungkin Indonesia juga bisa bangkit kembali menjadi bangsa yang lebih bermartabat dan berdaya sebagai pemenang dalam globalisasi What Is Globalization Our new ‘global age’ can be difficult to define, but this era of borderless politics, economics and culture demands a response from the Catholic Church. By Fr. Patrick McMullan People worldwide are wrestling with the effect of globalization on their culture, identity and livelihoods. The concept of globalization can be hard to define—as we’ll discuss later—but it can be loosely described as the world’s increasingly international and borderless political, economic and cultural landscape arising from structural changes in capitalism that happened between 1971 and 1992. The effect of globalization is, more often than not, experienced as powerlessness by those nations and workers who must face globalization’s increasingly intrusive economic processes. These forces appear not only to have a life of their own, but they also discourage any alternative thinking. This profound and intense change in the shape of contemporary society demands a response from a Catholic Church dedicated to the principals of social justice. For example, the bishops from Canada, Latin America and the United States recently issued a joint statement on globalization that echoed recent statements from Pope John Paul II. The bishops call globalization a “mixed blessing” and invite a “vigorous and in-depth critical analysis” of the phenomenon. (“American Bishops Outline Eight Pastoral Strategies,” March 24, 2003). The timing of the bishops’ initiatives could not be more appropriate. New Word, New World Even though the word “globalization” first appeared in the English language about 1962, its usage did not gain popularity until the 1980s. Scholars in religion and sociology were among the first to pick up on the word. These scholars were searching for ways to explain the obvious failure of theories of secularization, which predicted the increasing irrelevance of religion as a force in shaping the modern world. By the 1990s, globalization discourse had spread into economics and politics, perhaps reflecting the popularity of the word in everyday language. Despite this new word’s popularity and frequency of use, there is surprisingly little agreement on the meaning of globalization. Some commentators, for example, will claim that globalization is the name given to “the global age”—a new era in human history. Others, such as economists, MBA graduates and entrepreneurs, might see globalization as an unprecedented opportunity for conducting business. Then again, a rural peasant or a redundant factory worker might describe globaliza-tion in terms of its destruction of their local community and environment. Globalization is more than a capricious word; it is a concept that is contested among its participants at all levels. The confusion associated with the term “globalization” becomes most acute when a vague term such as “anti-globalization” is used. If there is no genuine agreement on what globalization is, then how can we speak confidently about its opposite? For example, is someone who is accused of anti-globalization against the direction of contemporary society, unregulated business activity, or the destruction of his or her community? An Emerging Global Culture In its most general sense, globalization is used to convey a sense of an emerging global culture that is not specific to any particular group or nation. This global culture results from a fusion of ideas, fashions and patterns of consumption. In particular, advanced communication technologies are helping make this emerging global culture possible. The phrase “borderless world” is often used to describe the worldwide structure emerging under globalization. Such a world is one where barriers to the free flow of people, finance and ideas are supposedly being eliminated. Free trade agreements such as the North American Free Trade Agreement (NAFTA) and the use of computer technology in the banking system have indeed liberated capital and foreign direct investment. Politically, the tearing down of the Berlin Wall and the subsequent collapse of the Soviet Empire are often cited as the pre-eminent examples of the borderless world. For those people who can afford to fly or have ready access to new technologies, the world undoubtedly is without borders. For refugees and migrant workers, however, the borderless world is a mirage. Countries everywhere are increasingly concerned with security and are rigidly policing their borders to prevent the incursion of unwanted people. Globalization reverses basic tenants of liberal economic theory. “Comparative advantage” traditionally was understood to derive from the mobility of people as opposed to the relative immobility of capital (such as urbanization). But in a globalized world, capital is liberated. As a result, communities become locked in a vulgar form of competition to attract capital. For example, local communities are often forced to provide “favorable” or “competitive” economic conditions to maintain jobs for their working population. As a result, economic competition rather than moral and religious values become the central focus of contemporary life. This environment creates market efficiencies, but is detrimental to human rights, working conditions and environmental protection laws. An extension of the borderless world concept is the idea of “the end of history.” This phrase refers to the supposed victory of liberal democracy and the market economy. The line of thought is that human beings who live in the borderless world are discovering their true nature as consumers. They are “liberated” human beings governed by the precepts of the free market, especially the right to private property. The shopping mall can be seen as the ultimate symbol of global society. But even a quick look at the vast consumption differences between the “First World” and “Third World” shows that life can be unjust and exclusive in “the global mall.” The Pope’s Thoughts Globalization often is associated with a particular, and often unquestioned, assumption about culture and social relationships. Thus, the world is divided into what is considered modern and pre-modern: liberal democracy and the market economy are unquestionably good; traditional feudal society is unquestionably bad. In this sense, one influential definition describes globalization as “the universalization of modernity.” Often this division is called “the clash of civilizations.” Islam, in particular, is usually cited as being unable to cope with modernity. However, despite the resistance of pre-modern societies, globalization is understood as an inevitable process. In 1991, President George Bush gave political flesh to this thinking when he announced “a new world order” in his State of the Union address. In 2001, Pope John Paul II offered a valuable critique of globalization, which he described as a “human event.” These are empowering words. Columban Father Pat McMullan of New Zealand recently completed a master’s degree. His thesis was a theological critique of globalization. Ordained in 1987, he has served on mission in Korea. The pope challenges the contemporary world to recognize that globalization is not inevitable. Instead, globalization is a process that emerges from decisions of individuals and communities. The pope’s strong defense of human freedom stands in stark contradiction to those who adopt the TINA (there is no alternative) principle. The pope’s message is that human beings can make decisions that can undo the injustices that create and sustain “the global mall.” An Interconnected World Globalization means we can no longer think of ourselves except in relation to other people, communities and nations. A new consciousness is emerging as people are not only being brought more closely together but also, and most importantly, becoming more intensely aware of that closeness.North American bishops have prophetically interpreted this new consciousness as an “experience of interconnectedness,” which “reveals a hunger and thirst for peace, justice and compassion, and a search for deeper meaning in life.” However, the bishops are realistic enough to know that those who embrace such thinking are in a fragile position, which is “fraught with much loneliness and a sense of vulnerability.” There is no doubt that globalization has bought tremendous benefits to some members of the human community. However, an honest appraisal reveals that globalization offers an illusion of oneness while obscuring with dazzling efficiency the brutal realities of entrenched and institutionalized poverty. Ultimately, globalization is a failed project in its attempt to unite the world. As followers of Jesus, we are called and sent to stand squarely beside those who are excluded, impoverished and imprisoned. The authentic calling of the Church is not to help the excluded adjust to the new era, but rather to be their comfort and speak their voice as they pray and dream of a more just world. • GLOBALISASI telah menimbulkan dampak yang sangat berarti dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Globalisasi merupakan proses internasionalisasi seluruh tatanan masyarakat modern. Pada awalnya proses ini hanya pada tataran ekonomi, namun dalam perkembangannya cenderung menunjukkan keragaman. Malcolm Waters mengemukakan bahwa ada tiga dimensi proses globalisasi, yaitu: globalisasi ekonomi, globalisasi politik, dan globalisasi budaya. Dari segi dimensi globalisasi budaya, muncul beberapa jenis space atau lukisan, seperti: etnospace, technospace, financespace, mediaspace, ideaspace, dan sacrispace. Dengan demikian, universalisasi sistem nilai gobal yang terjadi dalam dimensi kebudayaan telah mengaburkan sistem nilai (values system) kehidupan manusia, khususnya pada negara-negara berkembang seperti Indonesia dalam menghadapi tahun era pasar bebas. Indonesia adalah negara dengan tingkat populasi yang cukup tinggi. Dengan krisis ekonomi yang melanda bangsa, kehidupan rakyat kita semakin terseok-seok. Hal ini ditambah lagi dengan semakin bobroknya moral masyarakat dan para pejabat negara yang sampai saat ini belum tertangani secara memuaskan. Dewasa ini kehancuran moral telah merasuk dalam beragam bentuknya nyaris dapat ditemui pada semua lapisan masyarakat dan pada semua dimensi kehidupan: politik, sosial, ekonomi, atau pendidikan. Dalam kehidupan politik para politisi lebih terfokus pada perebutan kekuasaan, terutama menjelang Pemilu 2004 daripada mengembangkan kepedulian untuk bersama-sama memperbaiki situasi negara dan bangsa. Janji-janji mereka saat kampanye pemilu lalu bahwa mereka akan memperjuangkan nasib rakyat belum dibuktikan secara serius dan nyata sampai kini dan hanya isapan jempol saja. Para politisi dan wakil rakyat yang duduk di parlemen justru melakukan money politics dan money game; dua istilah yang sudah sangat populer pada tataran masyarakat lapisan bawah (grass-root). Istilah tersebut sudah tidak lagi menjadi rahasia, bahkan cenderung menjadi semacam sinisme yang ditujukan terhadap kaum politisi. Demikian pula di lembaga legislatif (DPR/DPRD) ketika budaya "datang, duduk, diam" sangat popular. Bermoralkah para politisi kita di DPR/DPRD yang mendapatkan berbagai fasilitas dan kesejahteraan yang semuanya dibayar dari uang hasil keringat rakyat (mungkin juga uang pinjaman luar negeri yang dalam hal ini akan menjadi beban rakyat juga sampai beranak-pinak), tetapi kurang atau bahkan sama sekali tidak peduli dengan penderitaan dan perjuangan para pengungsi, petani, buruh tani, nelayan kaum cilik yang miskin yang telah berjasa membuat mereka menjadi besar dan terhormat? Bukankah mereka itu seyogianya berpihak, membela, dan memperjuangkan mayoritas masyarakat miskin agar bisa hidup layak seperti orang-orang yang telah diangkatnya? Gejolak sosial yang muncul di tengah-tengah masyarakat adalah dampak ketimpangan sosial ekonomi antarsesamanya. Betapa kesalnya mereka ketika melihat para wakil rakyat yang mereka percaya justru melakukan tindakan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Di samping itu, ternyata praktik korupsi juga turut melanda institusi pendidikan (18,1%), kesehatan (21,2%), bahkan lembaga keagamaan tidak luput dari korupsi (27,7%), (Kompas, hlm. 8, tanggal 17 September 2001). Menurut Lembaga Transparancy International, Indonesia termasuk dalam kategori negara terkorup nomor tiga (1999), nomor empat (2000) di dunia, dan nomor dua di dunia (Metro TV) pada tahun 2001. Setelah melakukan perbuatan itu, mereka akan berbondong-bondong kembali ke agama masing-masing dan tetap mengulanginya di waktu yang lain. Kondisi seperti itu membuat mereka menjadikan agama sekadar sarana penebus dosa atau meminjam istilah Gordon W. Alport something to use but not to live. Mereka menjadikan agama untuk pencapaian kepentingan. Dengan demikian, mereka mengorbankan kejujuran dan ketulusan serta nilai-nilai moral dan sosial yang lain asal tujuan mereka tercapai. Pada saat sama, mereka pun rajin melakukan ibadah-ibadah ritual sebagai penebus dosa-dosanya. Akhirnya, masyarakat kecil yang harus memikul beban. Dari korupsi yang terus membengkak, beban utang yang menyesakkan, pendidikan yang bersifat pesanan atau titipan penguasa dan menjauhkan diri dari nilai-nilai kemanusiaan, sampai konflik elite yang bersifat premanistik, semua itu hanya menyisakan penderitaan paling parah pada masyarakat di tingkat akar rumput. Penderitaan itu telah membuat masyarakat benar-benar tidak berdaya. Kesejahteraan, ketenangan, dan cita-cita agung yang dirangkai sejak Indonesia merdeka mulai tercerai-berai dan menghilang di balik ambisi kekuasaan sekelompok kecil bangsa. Sebagai gantinya, perasaan anomi dan dampak-dampak yang menyertainya menjadi bagian yang melekat pada kehidupan masyarakat. Dari banyak komponen yang membentuk struktur keberadaan suatu bangsa seperti sumber daya alam, posisi demografis negara, keberagaman (dalam hal suku, bahasa, agama, dll), komposisi penduduk (usia, pendapatan, dll), warisan filsafat dan nilai-nilai bangsa dan manusia sebagai warga negara yang mengelola seluruh sumber daya bangsanya, maka harus disadari bahwa komponen paling penting untuk dapat berlangsungnya kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut adalah sang pengelola itu sendiri dan satu-satunya pengelola tersebut adalah manusia. Manusia adalah subjek sekaligus objek dari pembangunan sebuah bangsa. Jadi, sebenarnya apa yang tengah diusahakan dan dikerjakan dengan begitu serius oleh seluruh manusia adalah demi manusia itu sendiri; yaitu demi kesejahteraan dan kemakmuran. Bila kita sadari, memang sesungguhnya yang menjadi akar serta inti paling penting untuk berlangsungnya berbangsa dan bernegara adalah manusia, maka menjadi relevan bila kita simpulkan bahwa titik pangkal untuk kita memulai mengurai benang kusut krisis multidimensi di Indonesia adalah diawali dari manusia Indonesia itu sendiri. Mungkin kita bisa merenungkan sejenak dan merefleksi diri, siapakah kita ini. Manusia Indonesia, seperti tertuang dalam pembukaan UUD 1945, berangan-angan atau bercita-cita sangat tinggi dan mulia yaitu ingin mengangkat harkat dan martabatnya sebagai suatu bangsa di tengah bangsa-bangsa lain di dunia. Setelah lepas dari belenggu penjajahan, bangsa Indonesia dengan penuh semangat ingin membangun dan menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh bangsanya. Namun, sayang sekali mayoritas bangsa Indonesia tidak berhasil menangkap satu pemahaman yang paling kritis, yaitu pemahaman akan sifat-sifat dasar manusia itu sendiri. Tidaklah mungkin kita mampu membangun manusia kalau kita tidak dapat memahami sifat-sifat manusia. Pemahaman mengenai siapakah manusia merupakan solusi universal untuk eksistensi dan berlangsungnya (survival) suatu bangsa. Abraham Kuyper (seorang negarawan Belanda) pernah menulis bahwa untuk menghadapi kekuatan zaman, kita harus mengerti bahwa kita tengah berhadapan dan berperang dengan ide-ide yang terbuka secara bebas dan ditawarkan oleh segala macam filsafat. Oleh karena itu, kita harus punya kerangka pikir yang tepat dan menyeluruh dalam memahami hal-hal mendasar atas produk-produk pikiran tersebut sehingga mampu menguji mana yang benar dan mana yang salah. Pemahaman atas manusia hanya mungkin terjadi jika kita mengenali seperti apakah sifat dasar manusia itu? Bila kita salah diagnosis, kita tidak akan pernah mampu menyelesaikan permasalahan. Kita akan mencoba secara teliti mengurainya. Pernyataan yang sering kita dengar di era gerakan reformasi yang sampai saat ini masih diteriakan oleh elemen-elemen demokrasi adalah upaya bangsa Indonesia dalam menyelesaikan serangkaian krisis ekonomi yang berujung pada kemelaratan, kebodohan, kemiskinan, dan penindasan. Oleh karena itu, solusi yang banyak diusulkan oleh mayoritas manusia Indonesia adalah sederhana saja yaitu pendidikan yang lebih baik, pemerataan pendapatan (bahkan ada yang berani berteriak untuk redistribusi aset para konglomerat yang jatuh bangkrut), dan reformasi politik. Perlu dicatat bahwa apabila kita hanya sampai pada tahap berpikir bahwa pendidikan, pendapatan, dan reformasi politik adalah titik pertempuran yang harus dimenangkan tanpa berpikir jauh, konsep seperti apa yang akan kita tawarkan (tentunya yang berpihak ke rakyat), maka kita pun akan akan hanyut dalam pertarungan politik para penguasa yang berkepentingan. Meski demikian, pertanyaan kita adalah apakah hal-hal tersebut benar-benar merupakan solusi yang paling tepat dan tuntas untuk memerangi krisis bangsa Indonesia? Mari kita uji bersama-sama. Seandainya, bagi seluruh bangsa Indonesia pendidikan sudah baik dan maju, pendapatan sudah merata dan reformasi politik sudah dijalankan, apakah korupsi, kolusi, dan nepotisme struktural yang menjadi penyakit kanker ganas bangsa Indonesia akan otomatis hilang? ataukah sebaliknya yaitu, korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dihilangkan dulu baru kita bisa menjalankan pendidikan yang baik, pendapatan yang merata, dan reformasi politik? Tampaknya, logika kita mengatakan bahwa KKN harus dihilangkan terlebih dahulu baru yang lain bisa berjalan. Semakin rumitnya krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia, menuntut usaha yang gigih untuk menemukan jalan keluarnya. Persoalan ini tidak bisa kita selesaikan secara parsial, tetapi harus menyeluruh menyangkut semua aspek kehidupan. Untuk itu ada beberapa tahapan yang seharusnya ditempuh oleh kita bersama. Pertama, memperbaiki sistem pendidikan yang intinya merupakan pranata pembentukan dan pengembangan nilai-nilai moral. Inilah persoalan paling urgen untuk diperhatikan lebih serius oleh masyarakat dan khususnya kalangan pendidik. Pendidikan hendaknya bernilai transformatif; dapat mendewasakan masyarakat, serta mengembangkan kepribadian, intelektualitas, dan keterampilan secara utuh. Selain itu, sistem pendidikan harus mampu membaca dengan jujur kondisi riil dan kebutuhan yang dihadapi masyarakat sehingga benar-benar mampu memberdayakan mereka dalam kehidupan yang majemuk ini. Dengan pendidikan seperti ini diharapkan setiap individu memahami tujuan hidupnya dan mampu berperan secara posistif di tengah-tengah masyarakat. Pemahaman akan tujuan hidup selanjutnya akan memengaruhi moral seseorang. Bila kita tidak percaya bahwa hidup kita tidak berarti dan tidak ada tujuannya, kita memang tidak perlu membicarakan moral. Moral hanya menjadi penting untuk manusia yang percaya akan artinya hidup dan adanya tujuan hidup yang diberikan oleh Tuhan. Kedua, mengembalikan sistem hukum yang bermoral. Sejak lebih-kurang 200 tahun negara-negara di dunia menggunakan konsep hukum modern, maka pelan-pelan hukum telah memisahkan diri dari moral. Praksis hukum menghadapi pertanyaan yang sifatnya spesialistis, teknologis, bukan pertanyaan moral. Keadaan yang demikian itu sangat kuat tampak pada hukum sebagai profesi. Kaum profesional adalah orang-orang yang ahli dalam perkara perundang-undangan, tetapi jangan tanyakan kepada mereka urusan moral atau moralitas. Ekses praktik hukum di Amerika yang sudah menjadi bisnis mengundang orang untuk berkomentar, bahwa sifat kesatriaan, menolong orang yang susah, sudah semakin luntur. Memang hukum modern, yang sudah menjadi teknologis dan profesionalistis, semakin mengalami deregulasi moral. Sejak itu hukum sudah kehilangan bobotnya sebagai institusi moral dan keadilan. Kualitas seperti itulah kira-kira yang akan kita hadapi pada tahun 2003, yaitu saat kebebasan global akan memberikan kesempatan para lawyer asing berhamburan ke Indonesia. Kalau memang hukum modern mengalami deregulasi moral, salah satu tugas yang kita hadapi adalah bagaimana mengembalikan sisi moral dari hukum itu ke tempatnya. Kita dapat membayangkan bagaimana akibatnya apabila dimensi moral tersebut terabaikan. Terakhir, peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ini adalah prasyarat ketika pendidikan menjadi faktor penting. Masyarakat tidak akan mampu memperoleh pendidikan yang memadai jika untuk memenuhi kebutuhan hidup saja tidak sanggup. Kemerosotan tingkat kesejahteraan masyarakat adalah akibat kejahatan para penguasa yang mengisap hasil keringat mereka melalui praktek-praktik KKN. Oleh sebab itu, kita harus mengembalikan hak-hak yang seharusnya mereka terima Meaning of Globalization The technological development that characterizes the past two decades has triggered a communicational enhancement around the globe. Interconnectedness between people is greater everyday; goods, services, money, and information are exchanged between the furthermost parts of the world. International travel and communication now represent ordinary aspects of life. This phenomenon is called globalization. The term entered common vocabulary in the 1980’s and it grew so popular that the economic, political and cultural background of today is now described as “The Era of Globalization.” However, this term needs to be thoroughly clarified as it means different things to different people. To some, it is a natural phenomenon of wide-spreading economic, social, and political activities of different countries beyond their physical borders. In these people’s view, the increase in free trade and international exchange of information, labor and technology represents a beneficial process of economic development. Yet, there are others who believe globalization can damage the level of employment, the social progress and the cultural identity of a country. As a result of these divergent views on the matter, the term “globalization” and the phenomenon it names are the subject of a very strong debate. Thus the natural question is “What exactly is globalization?” The answer is that there is no answer, or at least that there is no precise, commonly agreed upon an... [to view the full essay now, purchase below] SUDUT GELAP GLOBALISASI Oleh : Aziezulloh Zamzami “Tidak ada negara yang dapat memilih untuk tidak ikut serta dalam globalisasi dan sistem perdagangan bebas, karena ikut atau tidak ikut sama-sama tidak bebas dari resiko ekonomi.” (Mubyarto, 1998) Mendengar istilah globalisasi, yang terbayang dalam batok kepala kita mungkin adalah sebuah sistem yang mengatur ekonomi dunia tanpa mengenal batas-batas negara (borderless world). Sehingga dimungkinkan adanya pertukaran modal, tenaga kerja, maupun komoditas-komoditas berupa barang dan jasa antar negara secara bebas dengan tarif 0%. Itu adalah bagian dari globalisasi. Sistem ini benar-benar memberikan kekuasaan pada mekanisme pasar. Proteksi negara untuk berbagai sektor-sektor ekonomi sedikit demi sedikit mulai dikurangi. Madeley dan Solagral (2001) memberikan pengertian mengenai liberalisasi perdagangan ini, yaitu proses pengurangan dan pada akhirnya penghapusan semua hambatan tarif dan non tarif secara sistematis antar negara sebagai mitra dagang. Melihat fenomena sistem ekonomi diatas, kita dapat mengetahui adanya kesamaan dengan sistem ekonomi yang diterapkan di negara-negara barat, yaitu sistem ekonomi liberalisme. Sistem ekonomi yang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada individu untuk berusaha dan sekaligus meminimalkan peran pemerintah dalam kegiatan ekonomi. Paham ini percaya bahwa kemakmuran negara akan terwujud bila masing-masing individu dalam negara tersebut juga makmur dengan memberikan kebebasan berusaha yang seluas-luasnya kepada warga negaranya. Dari keterkaitan itu dapat dipahami jika ide globalisasi digulirkan dan benar-benar diperjuangkan oleh negara-negara barat (baca : negara maju). Sebab globalisasi secara ekonomi sangat menguntungkan mereka. Investasi mereka tidak akan terhambat oleh tarif dan non tarif ekspor impor komoditas perdagangan. Dan ini terbukti sangat efisien. Namun lain halnya dengan negara berkembang, dengan masuknya barang-barang dari negara maju, pada tingkat tertentu akan menyaingi dan bahkan mematikan produksi barang-barang dari negara berkembang, yang notabene masih diproduksi secara tradisional dengan manajemen yang sederhana. Ini adalah salah satu dampak nyata dari globalisasi/liberalisasi. Walaupun dalam perkembanganya, semua negara, termasuk negara berkembang, ikut meng-amin-i ide globalisasi ini. Bagaimanapun juga tantangan globalisasi tidak hanya menjadi momok bagi negara berkembang saja tetapi negara maju juga mengalami ketakutan yang sama. Negara maju menginginkan tekhnologi dan barang-barang yang dihasilkanya tidak terhambat untuk menjamah pasar-pasar negara berkembang, tetapi sekaligus berusaha keras menghambat agar produk-produk dari hasil industri padat karya negara berkembang yang “terlalu murah” tidak bebas beredar dan menjamah pasar-pasar di negara maju yang untuk selanjutnya menyaingi produk-produk dari negara maju. Walaupun dari sisi kualitas, produk tersebut tidak kalah dengan komoditas negara maju. Oleh karena itu negara maju berusaha mempengaruhi industri-industri negara berkembang melalui kebijakan-kebijakan pemerintah negara berkembang. Pengaruh itu antara lain mengenai kebijakan mengenai kondisi buruh, upah buruh maupun perlindungan terhadap lingkungan hidup. Implementasi dari pengaruh itu dalam dunia buruh adalah dengan “merekomendasikan” tingkat UMK/UMR di Indonesia, walaupun tidak secara langsung. Sehingga dengan begitu perindustrian negara berkembang dapat dikontrol. Dari sini dapat dipahami bahwa keterlibatan negara maju maupun dunia internasional sangat erat. Keterlibatan yang dapat memaksakan keinginan negara maju kepada negara berkembang. Salah satu alat paling “mujarab” untuk bisa memaksakan kehendak kepada negara berkembang adalah melalui kebijakan pemberian pinjaman dari IMF, CGI, maupun Bank Dunia. Dari penjabaran hubungan kausalitas tersebut maka wajar jika saatnya kita satu suara, “Tolak Utang Luar Negeri”. Hambatan bagi negara berkembang untuk memasarkan produk-produknya di pasar Internasional tidak hanya berhenti sampai disini. Berbagai macam standardisasi diperkenalkan oleh negara maju lewat ISO, misalnya. Artinya, komoditas perdagangan produk negara berkembang yang ingin masuk pasar-pasar negara maju harus memenuhi aturan-aturan (mereka) yang telah ditetapkan. Itu semua dilakukan negara maju untuk memproteksi negara maju agar produk-produk negara berkembang tidak dengan mudahnya menyaingi produk-produk negara maju. Konspirasi tersebut misalnya dapat dilihat dalam kesepakatan SPS (Sanitary and Phytosanitary) sebagai berikut : 1.) Amerika Serikat memberikan penalty dalam bentuk diskon harga secara otomatis untuk produk asal Indonesia seperti kakao, lada, udang dan jamur dengan alasan terkontaminasi serangga, salmonella, logam berat dan anti biotik. Disisi lain AS memaksakan produk CLQ (Chiken Leg Quarter)nya diterima oleh Indonesia yang disangsikan kehalalanya. 2.) Jepang menolak buah-buahan Indonesia dengan alasan terkontaminasi lalat buah. Selain itu, jepang juga menolak masuknya pucuk tebu dengan alasan penyakit mulut dan kuku (PMK). 3.) Beberapa komoditas hortikultura dari Indonesia seperti pisang, pepaya dan jeruk mengalami pelarangan masuk ke pasar Taiwan dengan alasan ditemukan lalat buah yang tenyata tidak terdapat di Indonesia. (Deptan, 2001). Dari berbagai ketidak adilan perdagangan yang terjadi, salah satu hal yang mendesak untuk dilakukan adalah memperkuat kerjasama antar negara berkembang untuk secara bersama-sama berjuang untuk kepentingan rakyat negara berkembang dalam forum negosiasi dagang WTO. Bagaimanapun juga liberalisasi punya aturan main, dan kita dituntut untuk memperjuangkan kepentingan negara (baca : rakyat) dalam forum negosiasi aturan main tersebut. Bukan hanya meng-amin-i setiap poin yang mereka tawarkan. Disadari atau tidak kita telah banyak mengadopsi teori ekonomi negara barat. Di berbagai jenjang pendidikan materi-materi yang diberikan banyak berkiblat pada teori-teori neoklasik barat. Kita lebih mengenal teori ekonomi dari Adam Smith dan David Ricardo ketimbang teori ekonominya Karl Mark. Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan sedang menuju pada kemandirian dituntut untuk menyelesaikan masalah-masalah bangsa, termasuk ekonomi, sesuai Ideologi yang dipegang teguh yaitu Ekonomi Pancasila. Sistem ekonomi kerakyatan yang sedang marak dibincangkan saat inipun sebenarnya merupakan subsistem dari teori ekonomi Pancasila yang mulai didengung-dengungkan sejak kemerdekaan. Dari sini dapat ditarik pengertian bahwa penyelesaian masalah yang sama antara negara satu dengan lainya memerlukan cara penyelesaian yang berbeda sesuai dengan ideologinya masing-masing melalui pendekatan moral dan kelembagaan yang ada di negara tersebut. Sehingga kita sebagai bangsa yang mandiri dan berdaulat tidak asal adopsi sistem maupun teori dari negara lain. Bukankah ada pepatah yang mengatakan, “ Rumput tetangga memang tampak lebih hijau”. Wallahua`lamu bisshowab. DINAMIKA PERKEMBANGAN SITUASI POLITIK DAN KEAMANAN DUNIA SERTA PERUBAHAN KONSTELASI HUBUNGAN ANTAR-NEGARA MENJELANG AKHIR ABAD KE-20 Oleh: Ali Alatas, S.H. 1. Pada akhir abad ke-20 sekarang ini, dunia masih terus mengalami perubahan-perubahan cepat dan mendasar di berbagai bidang yang pada gilirannya mengakibatkan berlanjutnya proses transformasi luas pada peta politik dan ekonomi global serta pada pola hubungan antar negara. 2. Arus perubahan-perubahan tersebut sebenarnya telah mulai menderas sejak awal permulaan warsa 90-an. Pada saat itu, sendi-sendi tatanan dunia yang terbentuk sesuai dan sebagai warisan Perang Dunia ke-II mulai berguguran, sedangkan konstelasi global baru yang muncul masih belum mencapai bentuk kristalisasinya yang mapan. Perkembangan tersebut a.l. ditandai oleh tumbangnya Tembok Berlin, runtuhnya suatu negara adidaya dengan terhapusnya eksistensi Uni Republik-Republik Sovyet Sosialis dari peta politik dunia, serta terjadinya transformasi radikal dalam tata-hubungan Timur-Barat yang mengakibatkan berakhirnya Perang Dingin. 3. Usainya Perang Dingin telah menimbulkan berbagai kesempatan dan peluang baru, tapi juga tantangan dan problema baru. Namun harapan semula akan segera terciptanya suatu tatanan dunia baru, suatu “new world order” yang lebih damai, adil dan sejahtera bagi semua, ternyata tidak terwujud. Sebaliknya, kenyataan menunjukkan bahwa untuk kurun waktu yang cukup lama masyarakat internasional akan dihadapkan pada apa yang dapat dilukiskan sebagai “a new world dis-order”, suatu keadaan dunia yang di samping mencatat kemujan-kemajuan nyata masih sarat pula dengan konflik dan kemelut, ketidak-adilan dan ketidak-pastian. 4. Maka kini kita memasuki suatu era yang ditandai oleh saling ketergantungan (interdependensi) antar-bangsa yang semakin mendalam, saling keterkaitan antar-masalah yang semakin erat, serta proses globalisasi, khususnya dalam perekonomian dunia, yang semakin menyeluruh, dipacu oleh kemajuan-kemajuan pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi komunikasi dan informasi. Sebagai akibatnya, dunia terasa semakin menciut, batas-batas antar negara semakin kabur dan kaidah-kaidah seperti kedaulatan negara dan integritas teritorial semakin terkikis maknanya. 5. Dewasa ini, paling tidak terdapat empat kecenderungan mendasar yang telah dan akan turut menentukan wujud tatanan politik dunia dan yang perlu diantisipasi dan didalami implikasi-implikasinya. Pertama, kecenderungan ke arah perubahan dalam konstelasi politik global, dari suatu kerangka bi-polar ke kerangka multi-polar; Kedua, menguatnya gejala saling ketergantungan antar negara dan saling keterkaitan antar-masalah global di berbagai bidang. Seiring dengan itu, semakin menguatnya arus serta dampak globalisasi dengan segala implikasinya, baik yang positif maupun yang negatif; Ketiga, meningkatnya peranan aktor-aktor non-pemerintah dalam tata-hubungan antar negara; Keempat, munculnya isu-isu baru dalam agenda internasional, seperti a.l. masalah hak asasi manusia, intervensi humaniter, demokrasi dan demokratisasi, “good governance”, lingkungan hidup dll. Setiap bangsa, negara dan lembaga internasional, tanpa kecuali, harus menyesuaikan diri pada konstelasi global yang telah berubah dan yang sedang terus berubah sedemikian drastisnya itu. Dan tak terelakkan, perubahan-perubahann tersebut memunculkan aneka ragam tantangan dan sekaligus peluang baru bagi Indonesia di masa mendatang. Dari bi-polar ke multi-polar 6. Memang cukup sulit untuk mengukur secara tepat sampai seberapa jauh multipolarisme telah menjadi kenyataan dalam dunia pasca Perang Dingin saat ini. Dilihat dari aspek politik-militer, maka Amerika Serikat telah muncul sebagai satu-satunya negara adidaya yang memiliki pengaruh politik dan kekukatan militer terbesar. Maka dalam konteks politik-militer ini, konstelasi dunia sekarang lebih berwujud uni-polar ketimbang multi-polar. Sekalipun demikian, seperti dibuktikan pada peristiwa Perang Teluk dan kemelut di Kosovo, walau jelas memiliki keunggulan militer, pihak Amerika Serikat tetap merasa perlu untuk terlebih dahulu menggalang dukungan dan legitimasi bagi tindakan unilateralnya itu, paling sedikit dari negara-negara sekutunya dan pada akhirnya dari Dewan Keamanan PBB. 7. Dilihat dari aspek ekonomi-perdagangan, konstelasi kekuatan dunia kini terlihat lebih condong ke kawasan Asia-Pasifik, seiring dengan meningkatnya bobot dan peranan negara-negara industri baru di Asia Timur dan Asia Tenggara. Bahkan, berdasarkan suatu proyeksi Bank Dunia, pada tahun 2020 kelak, delapan dari sepuluh ekonomi terbesar dunia (berdasarkan purchasing power parity) akan berada di Asia Pasifik. 8. Dengan demikian, menjelang abad ke-21 ini, semakin nampak suatu konfigurasi tatanan global yang di satu pihak condong ke lingkungan Trans-Atlantik (Amerika Utara dan Eropa) sepanjang menyangkut aspek politik-militer, dan di lain pihak condong ke kawasan Asia Pasifik sepanjang menyangkut aspek ekonomi-perdagangan. Sejalan dengan perkembangan ini, terlihat pula pemusatan kegiatan dan kekuatan ekonomi di tiga kawasan dunia, yaitu kawasan Amerika Utara yang mencakup Kanada dan Meksiko dan yang dimotori oleh Amerika Serikat, kawasan Eropa, yang dimotori Uni Eropa dan kawasan Asia Timur, yang dimotori oleh Jepang, RRC, Republik Korea dan ASEAN. Di antara ketiga kawasan tersebut kemudian terjalin suatu kerangka hubungan segitiga atau trilateral, yaitu Amerika Utara dengan Eropa melalui NATO dan berbagai lembaga kerjasama trans-atlantik lainnya, Amerika Utara dengan Asia Timur (termasuk Asia Tenggara) melalui APEC (sejak tahun 1989) dan Eropa Barat dengan Asia Timur (termasuk Asia Tenggara) melalui ASEM (sejak tahun 1996). Saling ketergantungan dan globalisasi 9. Gejala saling ketergantungan antar negara dan saling keterkaitan antar masalah memang telah nampak sejak beberapa waktu dalam interaksi hubungan internasional. Hal ini a.l. dimanifestasikan oleh semakin maraknya kecenderungan ke arah regionalisme dan terbentuknya berbagai kelompok kerjasama regional baik geografis ataupun fungsional. Begitu pula, saling keterkaitan antar masalah semakin dirasakan pada pembahasan topik-topik global seperti pembangunan, kependudukan, pangan, lingkungan hidup dll., khususnya di forum-forum PBB. Kedua gejala tersebut kini dibarengi pula oleh fenomena globalisasi yang semakin meluas. 10. Seperti diketahui bersama, globalisasi merupakan arus kekuatan yang dampaknya tak dapat dielakkan oleh negara manapun di dunia. Namun, di samping telah membuka peluang-peluang besar bagi kemajuan perekonomian negara-negara yang pandai memanfaatkannya, globalisasi pada kenyataannya dapat berdampak sangat merugikan pula, khususnya bagi negara-negara berkembang yang belum atau kurang mampu memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang tersedia. Dampak negatif ini telah dialami secara langsung oleh Indonesia dan sejumlah negara Asia Tenggara dan Asia Timur pada waktu krisis keuangan/moneter menerpa negara-negara tersebut pada tahun 1997-1998. Sekarang sdah disadari bersama, bahwa terjadinya krisis tersebut bukan hanya disebabkan oleh adanya kesalahan-kesalahan kebijakan ataupun kelemahan-kelemahan struktural pada ekonomi negara-negara yang terkena itu, tapi juga diakibatkan oleh dampak negatif globalisasi di bidang keuangan dan moneter internasional. Hal ini dengan jelas menunjukkan betapa arus globalisasi yang tak terkendali dapat memporak-porandakan sistem ekonomi/keuangan negara-negara berkembang, bahkan dapat mengancam pula kemapanan ekonomi/keuangan negara-negara maju. 11. Maka dari itu, tantangan utama di hadapan kita sekarang adalah bagaimana menangani akar-akar permasalahannya dan mengambil tidakan-tindakan bersama agar krisi seperti ini tidak terulang lagi. Untuk ini, pertama-tama perlu dirumuskan cara-cara yang dapat disepakati semua pihak untuk mengadakan pengaturan terhadap pasar uang internasional dan menjadikannya lebih transparan dan terramalkan (predictable). Perlu pula dipikirkan untuk menugaskan suatu badan internasional (IMF?) untuk memonitor dan mengawasi pasar modal internasional serta kegiatan-kegiatan dibidang keuangan/moneter internasional pada umumnya. Selanjutnya, sudah tiba saatnya kiranya untuk mengadakan suatu konperensi internasional yang khusus membahas sistim keuangan/moneter internasional dewasa ini dengan tujuan guna memperbaikinya dan membuatnya lebih adil dan bermanfaat bagi semua. Tapi di atas segala itu, masyarakat internasional perlu segera mengikhtiarkan agar dampak negatif globalisasi dapat dicegah atau paling sedikit diredam, sehingga tidak lagi mengancam ekonomi negara-negara berkembang yang telah membuka diri terhadap dinamika pasar dunia. 12. Globalisasi yang sekaligus mendorong liberalisasi ekonomi yang semakin menyeluruh niscaya juga meletakkan kondisi-kondisi yang kian memberatkan pada perekonomian negara-negara berkembang. Dalam suasana globalisasi/liberalisasi dewasa ini, keunggulan komparatif (comparative advantage) yang banyak dimiliki negara-negara berkembang termasuk Indonesia, akan semakin berkurang maknanya dan keunggulan kompetitif (competitive advantage) atau daya saing yang akan semakin menentukan keberhasilan dan kemajuan suatu ekonomi. Ini berarti mutlak perlunya peningkatan sumber daya manusia dalam arti seluas-luasnya, mencakup peningkatan ilmu pengetahuanmelalui pendidikan dan riset, peningkatan ketrampilan serta penguasaan teknologi. Peran aktor-aktor non-pemerintah 13. Kecenderungan dasar lain yang mewarnai tatanan politik pada akhir abad ke-20 adalah semakin beragamnya aktor-aktor yang berperan di atas pentas internasional. Dewasa ini, aktor-aktor tersebut tidak lagi terbatas pada negara, pemerintah ataupun organisasi antar pemerintah, tapi juga meliputi unsur non-pemerintah seperti lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM), perusahaan-perusahaan multinasional, media massa dan “civil society” pada umumnya. Krisis ekonomi/keuangan yang baru-baru ini menimpa kita memberi pelajaran kepada kita betapa para aktor non-pemerintah yang berkiprah di sektor jasa keuangan internasional mampu menjadi faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi/keuangan, bahkan stabilitas politik, di sesuatu negara. Pola diplomasi yang kini berkembangpun tidak lagi semata-mata bertumpu pada jalur first track diplomacy yang bersifat formal antar pemerintah, melainkan juga semakin sering terlaksana melalui jalur second track diplomacy yang bersifat informal non-pemerintah. Hal ini menimbulkan keharusan pada kita untuk lebih mengenali dan mendalami kiprah aktor-aktor non-pemerintah tersebut. Isu-isu baru dalam agenda internasional 14. Pupusnya Perang Dingin dengan segala ketegangan dan pertentangan Timur-Baratnya telah juga mencuatkan sejumlah isu global baru dalam agenda internasional, a.l. isu-isu yang menyangkut hak asasi manusia (HAM), intervensi humaniter, demokrasi dan demokratisasi, “good governance”, lingkungan hidup, masalah tenaga kerja dll. 15. Sebenarnya, kebanyakan dari isu-isu tersebut bukan lagi merupakan hal baru dan penanganannya di berbagai forum internasional yang relevan dipandang sebagai sesuatu yang wajar. Esensi permasalahannya pun diakui penting. Sepanjang menyangkut Indonesia, pendirian dan keterikatan kita terhadap pemajuan dan perlidungan HAM sudah jelas, karena secara konsepsional mengalir dari sila ke-2 Pancasila, tercermin dalam Pembukaan serta pasal-pasal UUD 1945 dan dimanifestasikan antara lain dengan dibentuknya KOMNAS-HAM pada tahun 1993 dan diluncurkannya Rencana Aksi Nasional di bidang HAM untuk kurun waktu 1998-2003 pada tanggal 25 Juni 1998. Hanya dalam pelaksanaannya secara konkrit memang harus diakui masih jauh di bawah norma internasional. Begitu pula halnya dengan usaha pelestarian lingkungan hidup, yang ketentuan-ketentuannya sudah dimasukkan dalam berbagai aspek kebijakan pembangunan nasional kita. Namun permasalahan yang kadang-kadang ditimbulkan dan perlu diwaspadai adalah kecenderungan negara-negara maju tertentu untuk menjadikan penanganan isu-isu tersebut sebagai kondisionalitas bagi kerjasama ekonomi/perdagangan dengan negara berkembang. Sebaliknya, oleh sementara negara berkembang hal ini dipersepsikan sebagai proteksionisme terselubung ataupun sebagai hambatan non-tarif terhadap ekspor negara-negara berkembang ke pasaran negara maju. 16. Di bidang keamanan atau security pun telah timbul berbagai konsep serta pemikiran baru yang telah memunculkan dilema baru bagi masyarakat internasional. Selama ini, masalah keamanan biasanya dipersepsikan dan ditangani dalam konteks hubungan antar negara, yaitu dalam rangka menjaga dan melindungi keamanan sesuatu negara dari ancaman, khususnya ancaman militer, dari negara lain. Itulah sebabnya tujuan utama kebijakan-kebijakan di bidang keamanan tertuju pada pembelaan kedaulatan nasional dan integritas teritorial negara terhadap ancaman dari luar. 17. Namun, belakangan ini, dengan bergesernya sifat konflik-konflik bersenjata dari perang antar negara ke arah konflik dan pergolakan di dalam suatu negara serta dengan timbulnya masalah-masalah keamanan baru yang diakibatkan oleh terorime, perdagangan gelap narkoba, kejahatan-kejahatan transnasional, pelanggaran-pelanggaran berat terhadap HAM dll., telah menyadarkan kita bahwa jika negara aman belum tentu berarti warganya, manusia-manusia di dalamnya, aman pula. Maka dari itu, walaupun pengamanan negara menghadapi agresi ataupun perang tetap merupakan jaminan utama bagi keamanan para warganya, akhir-akhir ini telah muncul suatu konsep baru, yaitu keamanan manusia atau human security. Keamanan manusia dapat didefinisikan sebagai keamanan bagi manusia perorangan ataupun sekelompok manusia (termasuk bangsa) dari ancaman-ancaman seperti yang disebut tadi. Sedangkan falsafah yang mendasari pendekatan “human security” tersebut adalah agar sasaran pengamanan jangan tertuju pada kepentingan negara semata-mata tapi perlu ditujukan pula pada kepentingan dan keperluan manusia. 18. Seiring dengan munculnya konsep keamanan baru ini maka dalam upaya pengamanan terhadap manusia-manusia yang terancam tersebut telah berkembang pula suatu gejala baru dalam tata-hubungan internasional, yaitu kecenderungan ke arah apa yang disebut “intervensi humaniter”. Kemelut yang pernah berkecamuk di Somalia, Rwanda dan Haiti dan baru-baru ini di Kosovo telah semakin memunculkan dilema yang dihadapi oleh masyarakat internasional, khususnya PBB. Yaitu dilema antara, di satu pihak, masalah legitimasi atau keabahan sesuatu tindakan intervensi yang dilakukan oleh sesuatu negara, sekelompok negara atau organisasi regional ke dalam sesuatu negara lain, tanpa persetujuan negara yang bersangkutan dan tanpa adanya mandat dari PBB dan, di lain pihak, kebutuhan nyata yang diakui oleh masyarakat internasional untuk menghentikan suatu bencana humaniter yang sedang terjadi di sesuatu negara sebagai akibat pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Permasalahan ini sekarang telah menjadi topik perdebatan hangat di lingkungan PBB setelah Sekjen Kofi Annan memaparkannya dalam laporan tahunannya ke hadapan sidang Majelis Umum PBB tahun lalu. 19. Memang tidak dapat disangkal, bahwa terdapat keharusan mendesak – sedikit-dikitnya dari segi moral – untuk menghentikan berbagai bentuk tragedi kemanusian yang terjadi di sesuatu negara sebagai akibat pelanggaran hak-hak asasi manusia secara besar-besaran. Namun bahaya yang ditimbulkan oleh intervensi semacam itu nyata pula jika dilakukan tanpa kriteria ataupun pedoman yang jelas dan yang dapat diterima oleh masyarakat internasional. Maka dari itu, apabila intervensi humaniter ini akan diberlakukan sebagai suatu norma baru dalam tata-hubungan internasional, tentunya harus senantiasa didasarkan atas prinsip keabsahan (legitimasi), dalam hal ini persetujuan Dewan Keamanan PBB, dan atas prinsip non-diskriminasi, yaitu diterapkan secara adil dan konsisten, tanpa pandang bulu, tanpa membedakan antara negara atau antara kawasan. 20. Negara-negara Non-Blok dan negara berkembang lainnya, termasuk Indonesia, sepenuhnya mengakui hak bahkan kewajiban PBB untuk membantu negara atau bangsa yang sedang mengalami musibah. Namun yang menjadi masalah yang sangat peka ialah ide pembatasan kedaulatan negara yang tersimpul dalam gagasan intervensi humaniter tersebut. Apalagi mengingat, bahwa andaikatapun intervensi itu hanya dapat dilakukan atas persetujuan Dewan Keamanan, kemampuan negara-negara berkembang yang bukan anggota tetap Dewan Keamanan PBB untuk mempengaruhi keputusan Dewan tersebut dan kemudian mengawasi pelaksanaannya sangat terbatas. Tambah pula, sudah dapat diperkirakan dari semula, bahwa pihak-pihak yang kemungkinan besar akan aktif melakukan intervensi humaniter adalah negara-negara maju dan pihak-pihak yang akan diintervensi adalah negara-negara berkembang. Dengan demikian, intervensi humaniter kemungkinan besar hanya akan menambah pada potensi konflik antara kedua kelompok negara tersebut. 21. Maka dari itu, dalam menghadapi kecenderungan baru dalam tatanan politik internasional ini, Indonesia bersama-sama negara sefaham lainnya perlu mendesak agar gagasan intervensi humaniter ini terlebih dahulu dibahas secara seksama oleh masyarakat internasional sehingga dapat dicapai konsensus mengenai mandat, prinsip-prinsip serta kriteria bagi pemberlakuannya serta mengenai situasi dan kondisi spesifik yang perlu dipenuhi bagi pelaksanaannya. 22. Perkembangan yang langsung menyentuh kepentingan dasar Indonesia adalah apa yang sedang terjadi di lingkungan dekat kita sendiri, yaitu Asia Timur, termasuk Asia Tenggara. Sesuai era Perang Dingin, kawasan ini telah mengalami suatu keadaan yang relatif stabil, walaupun ketegangan dan potensi konflik tetap membayanginya. Hal ini disebabkan karena keberadaan fisik dan kepentingan dasar empat kekuatan besar, yaitu RRC, Rusia, Jepang dan Amerika Serikat, bertemu dan bersilang di kawasan ini. Maka dari itu inter-aksi antara ke-empat negara tersebut akan selalu berdampak terhadap realitas politik dan ekonomi di seluruh kawasan dan dinamika konstelasi segiempat (quadrangular) ini, stabilitas ataupun ke-tidakstabilannya, konvergensi ataupun ketegangan yang terjadi di dalamnya dll., akan selalu menentukan lingkungan serta derajat keamanan di kawasan Asia-Pasifik ini. 23. Tambah pula di kawasan ini masih terdapat sejumlah pertikaian territorial dan klaim kedaulatan yang tumpang-tindih antara beberapa negara yang dapat meletus menjadi konflik bersenjata jika tidak ditangani secara bijak. Jepang-RRC, masalah RRC-Taiwan yang masih berpotensi eksplosif, di mana lima negara dan Taiwan termasuk negara ASEAN, terlibat pertikaian mengenai klaim kedaulatan dan jurisdiksi yang tumpang-tindih atas kepulauan Spartly. Di samping itu, telah timbul pula suatu isu kontroversial dengan diumumkannya niat Pemerintah Amerika Serikat untuk membangun suatu sistim pertahanan baru, yaitu National and Theater Missile Defense. Namun demikian, akhir-akhir ini telah terjadi perkembangan yang menggembirakan dengan bertumbuhnya saling-pendekatan antara Korea Selatan dan Korea Utara dengan diselenggarakannya pertemuan puncak antara pemimpin kedua negara tersebut. Dan pada pertemuan ASEAN Regional Forum yang terakhir di Bangkok, Republik Demokrasi Rakyat Korea untuk pertama kalinya ikut serta sebagai anggota baru. 24. Di tengah-tengah perkembangan di kawasan kita itu, sekarang justru muncul tanggapan-tanggapan serta penilaian yang sumbang terhadap kiprah ASEAN, yang meragukan kemampuan ASEAN untuk tetap menjaga persatuannya dan bahkan mempertanyakan relevansi dan kelanjutan hidupnya. Agaknya sejumlah perkembangan telah menimbulkan keraguan tersebut : krisis keuangan/ekonomi yang telah menimpa negara-negara Asia Tenggara sejak tahun 1997, yang malah telah mengakibatkan krisis politik di Indonesia; perubahan-perubahan cepat dan mendasar di dunia yang telah berdampak luas di kawasan Asia-Tenggara tersebut; perluasan keanggotaan ASEAN dengan segala implikasinya, antara lain seolah-olah kini ASEAN terbagi dalam dua kategori keanggotaan, anggota ASEAN lama dengan ekonominya yang lebih maju dan anggota ASEAN baru dengan keadaan ekonominya yang lebih tertinggal dan tertutup. 25. Penilaian dan prediksi-prediksi yang negatif dan muram tersebut jelas sangat berlebihan sifatnya. Namun demikian, tanggapan-tanggpan itu tidak dapat kita kesampingkan begitu saja tapi seyogyanya memicu kita untuk terus mengkonsolidasi kiprah ASEAN di segala bidang. Yang terutama diharapkan oleh negara anggota lainnya ialah bahwa Indonesia, sebagai anggota terbesar dan sangat berpengaruh, tetap akan pro-aktif dan mencurahkan perhatian utamanya terhadap ASEAN sebagai sokoguru politik luar negeri kita, meskipun untuk sementara memang perlu mengatasi masalah-masalah mendesak di dalam negeri. 26. Kesemua perkembangan dan gejala seperti dipaparkan di atas semakin menampilkan arti penting terciptanya suatu sistim pengelolaan global (“global governance”) baru yang mampu menampung dan memecahkan berbagai problema dan tantangan yang muncul sebagai akibat dan globalisasi, multipolarisasi dan kenyataan makin saling tergantungnya negara-negara dan saling terkaitnya permasalahan-permasalahan dunia. Dalam kaitan ini, tidak dapat disangkal bahwa suatu sistim pengelolaan global baru apapun hanya dapat diterima secara universal dan berfungsi secara efektif jika mekanisme utamanya dan sumber legitimasinya adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa. Itulah sebabnya upaya untuk mengadakan reformasi PBB agar menjadikan Badan tersebut lebih demokratis, efisien dan efektif kini merupakan tugas masyarakat internasional yang sedemikian penting dan mendesak. 27. Demikianlah sekilas perkembangan-perkembangan dan kecenderungan-kecenderungan dasar yang terjadi di pentas internasional dan yang akan turut menentukan wujud serta corak tatanan politik dunia pada saat-saat kita memasuki abad ke-21. Jelas kiranya, bahwa lingkungan eksternal seperti digambarkan itu akan menuntut suatu sikap dan tanggapan yang setimpal dari setiap negara anggota masyarakat internasional. Jelas pula, bahwa tanggapan tersebut tidak dapat lagi sepenuhnya mengandalkan pada keunggulan-keunggulan komparatif yang selama ini dimiliki oleh suatu negara, seperti a.l. jumlah penduduk yang besar, sumber daya alam yang melimpah dll. Dalam menghadapi tantangan-tantangan baru tersebut, keunggulan andalan yang akan lebih menetukan berhasil tidaknya suatu bangsa mencapai kemajuan berkisar pada penguasaan IPTEK serta etos kerja, disiplin nasional dan daya saing yang tinggi. Bagi Indonesia, tantangan ini bahkan menjadi lebih berat lagi mengingat belum teratasinya tantangan-tantangan spesifik terhadap bangsa kita, a.l. krisis ekonomi yang berkepanjangan dan ancaman terhadap integritas territorial serta keutuhan bangsa kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bumi

AKU DAN MASAKU

Ahmad Munawir Saleh

Menu

Gallery Slider(Do Not Edit Here!)

Search

Copyright Text

 

Sample text

Sample Text

Sample Text